Showing posts with label Kisah Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Kisah Hikmah. Show all posts

Tuesday, 29 March 2016

Kisah Guru Asal Kairo Dapat Berkah Mengajar di Pesantren








Alkisah, ada seorang guru yang bernama Sayyid Ismail Fahmi Albadr, seorang dosen dan pengajar bantu di Pesantren Al-Asy'ariyyah Kalibeber dan Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jawa Tengah di Wonosobo (sekarang UNSIQ). Dia merupakan tenaga pengajar dari Universitas Al-Azhar Kairo yang selama dua tahun sekitar 1991-1992 menjadi tenaga pengajar bantu di kampus dan pesantren tersebut.

Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Elis Suyono dan Samsul Munir Amin dalam buku biografinya KH Muntaha Alhafidz, Ustadz Fahmi (begitu ia kerap dipanggil) bercerita, suatu ketika dia diberi beras 10 kilogram dan gula satu kilogram oleh almaghfurlah KH Muntaha Alhafidz, pengasuh Pesantren Al-Asy'ariah dan Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) waktu itu. Beras dan gula tersebut dibawa dan diberikan sendiri oleh Mbah Muntaha ke rumah Ustadz Fahmi yang letaknya tidak jauh dari kantor pondok.

Oleh istrinya, beras dan gula pemberian Mbah Muntaha itu digunakan sebagaimana kebutuhan biasanya. Beras itu dipakai untuk konsumsi keseharian keluarga Ustadz Fahmi yang jumlahnya lima orang beserta istri dan anak-anaknya. Begitu pula gula yang satu kilogram digunakan seperti biasanya untuk minim teh, susu, kopi dan kebutuhan lainnya. Tapi berbeda dengan biasanya, meski beras dan gula tersebut sudah dipakai dalam satu bulan, beras dan gula pemberian Mbah Mun itu belum habis juga.

Geganjilan tersebut membuat Ustadz Fahmi pada suatu waktu bertanya kepada istrinya, "Apakah beras dan gula itu tak pernah digunakan sehingga selama satu bulan itu keluarganya tidak pernah membeli beras dan gula?” tanya Ustad Fahmi.

Namun di luar dugaan, istrinya menjawab, bahwa beras dan gula itu tetap digunakannya sebagaimana kebutuhan kesehariannya. Ustadz Fahmi tentu saja heran, soalnya biasanya keluarga yang semuanya berjumlah lima orang itu bisa menghabiskan beras sekitar 30 kg dan 3 kg gula untuk kebutuhan konsumsi selama satu bulan. Tatapi kelaziman tersebut tidak berlaku pada kasus satu bulan itu.

Karena merasa penasaran dengan keganjilan di atas, maka pada suatu kesempatan Ustadz Fahmi menanyakan langsung hal itu kepada Mbah Muntaha, mengapa beras dan gula pemberian beliau tidak habis-habis kendati tetap digunakan.

"Hadza min barokatil Qur'an," jawab Mbah Muntaha. (M Haromain)

Disarikan dari Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha Alhafidz: Ulama Multidimensi, diterbitkan: UNSIQ Wonosobo dan Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber.
(NU Online)

Kisah KH Abdul Karim Lirboyo Jadi Kuli Santri Barunya







Ketika krisis keteladanan melanda generasi suatu bangsa maka menjadi begitu penting membaca dan mengenang kembali para tokoh yang dahulu dikenal memiliki karakter, akhlak, dan kepribadian yang terpuji nan luhur serta patut diteladani generasi sesudahnya. Di antara tokoh dimaksud yang memiliki sejarah hidup mulia dan perlu dikenalkan kepada generasi muda adalah akhlaknya para kiai, di samping tokoh-tokoh pahlawan bangsa.

Pada suatu hari (diperkirakan tahun 1920-an) datanglah seorang pemuda yang baru turun dari dokar di dekat area pondok. Dia membawa perbekalan lumayan banyak dari rumah, sehingga merasa berat untuk dibawanya sendiri. Kemudian pemuda calon santri baru itu melihat ada orang tua yang sedang berkebun. Versi lain mengatakan sedang memperbaiki pagar tembok. Melihat didekatnya ada orang tua, pemuda itu bertanya dengan bahasa Jawa halus:

"Pak, anu, kulo saumpomo nyuwun tulong kaleh njenengan, nopo nggeh purun? (Begini, Pak, seumpama saya minta tolong anda, apa berkenan)?” Tanya pemuda itu.

"Nggeh, nopo!" Jawab orang tua di kebun itu.

"Niki kulo mbeto kelopo, beto beras, kulo bade mondok teng kilen niko. Tulong jenengan beta'aken (Ini saya membawa kelapa dan beras. Saya mau mondok di barat itu. Tolong anda bawakan),” pinta pemuda tersebut.

"Oh, nggeh mas, kulo purun (Ya mas, saya mau),” balas orang tua.

Lalu dengan senang hati orang tua itu membantu membawakan bekal berupa beras dan kelapa milik pemuda tadi sampai di kompleks kamar santri. Para santri lama yang menyaksikan peristiwa itu terheran-heran: kiainya mengangkatkan barang milik calon santri barunya.

Akhirnya betapa malunya pemuda santri baru tersebut setelah mengetahui ternyata orang yang kemarin dia perintah membantu membawakan barang perbekalannya itulah yang menjadi imam shalat di masjid. Ternyata orang yang mengimami shalat tersebut adalah kiai pengasuh pesantren. Karena kesederhanaan penampilannya, sang pengasuh pesantren disangka orang desa atau petani kampung yang sedang bekerja.

Orang yang membantu mengangkatkan barang pemuda calon santri di atas adalah KH. Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. (M Haromain)

Fragmen kisah ini disarikan dari arsip wawancara dengan para alumni Pesantren Lirboyo oleh tim penyusun buku Sejarah Pesantren Lirboyo (2010); Lebih khususnya narasumber cerita ini adalah KH Ahmadi, Ngadiluweh dan almaghfurlah KH. A. Idris Marzuki.
(NU Online)

Saturday, 24 October 2015

Cerita Gus Mus Ingin Jadi Pendekar, Malahan Digunduli Mbah Bisri




Banyak kisah Gus Mus saat beliau nyantri di ponpes Lirboyo-Kediri, Jawa Timur.
Kali ini kisah beliau yang terobsesi ingin menjadi pendekar.

Kisahnya itu sebelum Gus Mus dan kakaknya, Gus Kholil diboyong nyantri di Ponpes Krapyak, Yogyakarta. Ya, saat Gus Mus dan Gus Kholil muda masih nyantri di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Selain untuk menimbah ilmu agama, Ponpes Lirboyo waktu itu juga dikenal dengan ilmu kanuragannya. Tak sedikit santri Lirboyo yang disebut kebal dengan berbagai senjata tajam.
Karena Gus Mus dan Gus Kholil muda nyantri di sana, mereka pun tak mau ketinggalan memiliki ilmu kanuragan. Duo putra KH Bisri Mustofa (Mbah Bisri) tersebut getol tirakat dan mempelajari berbagai ilmu kejadugan sebagai proses menjadi sakti.
Berbulan-bulan proses itu dilakukan Gus Mus dan kakanya. Kendati secara pasti mereka sendiri tidak mengetahui apakah sudah kebal atau belum, yang jelas spikologi Gus Mus dan kakaknya sudah seperti pendekar sakti.
Tiba saatnya, aktifitas di Ponpes Lirboyo memasuki musim libur. Gus Mus dan kakaknya menyempatkan diri pulang kampung, ke Rembang, Jawa Tengah. Karena sudah merasa seperti pendekar, Gus Mus pulang ke rembang berdandan bak pendekat masa itu.
Dua bersaudara itu pulang ke Rembang sengaja mengenakan pakaian dan perhiasan yang menegaskan kejadugan (pendekar). Rambut gondrong sampai ke punggung pertanda yang disebut-sebut tak mempan dicukur. Baju kutung dan celana komprang sedengkul, warna serba hitam, khas pendekar.
Gus Mus dan kakaknya juga tak lupa mengenakan ikat kepala batik dan terompah kayu yang tebalnya hampir sehasta, mungkin biar mereka dianggap mirip Sunan Kalijaga; dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan pulang, duo pendekar jadi-jadian itu benar-benar bergaya super pendekar. Tak jarang mereka membuat keder siapa pun disekitarnya. Memandang langsung kepada mereka pun orang tak berani, takut dikira nantang.
Namun saat tiba di kediamannya, bukan pujian yang didapat Gus Mus dan sang kakak. Ayahnya KH Bisri Mustofa tidak bangga melihat kedua anaknya bergaya seperti itu. Justru sebaliknya, Mbah Bisri marah dan murka.
Melihat sang Ayah marah, Gus Mus dan kakaknya tak bisa berkata apapun, termasuk tak kuasa menolak berganti pakaian dan pakaian ala pendekarnya dibakar sang ayah.
Mbah Bisri juga meminta santrinya memotong rambut gondrong Gus Mus dan kakaknya. Tak berani atau memang kebal, para santri Raudlatuth Thalibin tak bisa memangkas rambut Gus Mus dan Gus Kholil. Akhirnya, Mbah Bisri sendiri yang turun tangan membabat habis rambut mereka.
Tak lama berselang, kepala Gus Mus dan kakaknya jadi plontos. Pendek kata, Mbah Bisri meminta dua putranya itu menghilangkan keinginannya menjadi orang sakti. Kenapa Mbah Bisri melakukan semua itu. "Aku saja cuma kiai, kalian kok mau jadi wali," serga Mbah Bisri.
Biar tidak meneruskan obsesinya jadi pendekar, Gus Mus dan sang kakak akhirnya diboyong dari Lirboyo dan dimasukkan Ponpes Krapyak, Yogyakarta. (sumber Gus Kholil yang ditulis di notesnya).

*http://m.monitorday.com/detail/17138/kisah-gus-mus-ingin-jadi-pendekar-tapi-malah-digunduli-mbah-bisri

Friday, 9 October 2015

kisah Abu Nawas Mencari Cincin, Sebuah Perenungan






Ada sekelumit cerita dari penyair ulung nan jenaka, Abu Nawas, yang bisa kita jadikan pelajaran. Yakni, ketika pria bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami itu mencari sebuah cincin.
Dikutip dari situs kisah hikmah, suatu hari Abu Nawas sibuk mondar-mandir mencari sesuatu dan cukup lama.
Gara-gara lamanya masa yang ia gunakan mencari, tidak sedikit tetangganya yang bertanya-bertanya penasaran. Tidak sedikit pula di antara mereka yang mendekati. Lalu, mereka pun bergabung.
“Hai Abu Nawas,” seru salah seorang tetangganya, “apakah yang kamu lakukan?”
"Mencari cincin,” jawab Abu Nawas dengan santai. Sipenanya itu pun langsung ikut membantu mencarikan cincin Ke sana ke mari. Lama. Hingga, mereka pun kelelahan dan bosan.
“Kira kira cincinmu itu jatuhnya di mana?”
Tanya salah seorang yang ikut membantu mencarikan cincin tersebut.
Tanpa merasa bersalah, Abu Nawas menjawab santai, “Seingatku, cincin itu jatuh di dalam rumahku.”
Mendengar jawaban itu, orang-orang pun langsung berhenti mencarikannya. Sebagian ada yang emosi dan langsung pergi. Sebagian lainnya tetap tinggal. “Jika jatuh di dalam rumah mengapa engkau mencarinya di luar rumah?”
Tanya salah seorang diantara mereka. Sejenak menghela nafas, Abu Nawas pun sampaikan alasan, “Bukankah kita sering melakukan itu, saudara-saudaraku? Seringkali kita mencari penyebab di luar diri atas berbagai persoalan yang kita hadapi. Bahkan kita menyalahkan pihak lain saat ditimpa masalah. Dan menjadikan orang-orang di luar diri sebagai penyebab utama atas persoalan yang melilit diri kita.”
Saat sakit, misalnya, seringkali kita berpikir yang aneh-aneh dan rumit. Padahal, yang menjadi sebab utama atas sakit yang kita alami adalah zhalimnya diri terhadap tubuh.
Baik makan sembarangan, mengonsumsi makanan dan minuman yang tak jelas halal dan haramnya, mengabaikan hak tubuh untuk istirahat, abai terhadap olah raga sebagai salah satu komponen utama penunjang kesehatan, bahkan tidak peduli terhadap ruhani sebagai faktor yang amat penting dalam mempengaruhi kesehatan badan. Begitupun dengan banyak persoalan kehidupan lainnya. Kita terlalu mudah memberi maaf pada diri, tapi amat kejam dengan menisbatkan kekeliruan dan kezhaliman diri kepada pihak lain.
Bagi pribadi demikian, persoalan hidupnya akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Soalan-soalan itu tidak akan pernah kelar, sebab hanya dihilangkan dampaknya.
Pasalnya, cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengatasi sebab utamanya."
Orang orang disekeliling Abu Nawas dibuat malu dan tertunduk diam..


Sunday, 20 September 2015

Kisah Ukasyah Yang Mengharukan






Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah SAW sebelum meninggal. Rasulullah SAW telah jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah.
Pada suatu hari Rasulullah SAW meminta Bilal memanggil semua sahabat datang ke Masjid. Tidak lama kemudian, penuhlah Masjid dengan para sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama tidak mendapat taushiyah dari Rasulullah SAW.
Beliau duduk dengan lemah di atas mimbar. Wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yang tengah dideritanya.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Wahai sahabat2 ku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah satu2nya Tuhan yang layak di sembah?"
Semua sahabat menjawab dengan suara bersemangat, " Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu2nya Tuhan yang layak disembah."
Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
"Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka."
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yang Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat.
Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yang menjadikan para sahabat sedih dan terharu.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan manusia."
Ketika itu semua sahabat diam, dan dalam hati masing2 berkata "Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang kepada Rasulullah".
Rasulullah SAW mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali.
Tiba2 bangun seorang lelaki yang bernama UKASYAH, seorang sahabat mantan preman sebelum masuk Islam, dia berkata:
"Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa".
Rasulullah SAW berkata: "Sampaikanlah wahai Ukasyah".
Maka Ukasyah pun mulai bercerita:
"Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tetapi cambuk tersebut tidak kena pada belakang kuda, tapi justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah".
Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata: "Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."
Dengan suara yang agak tinggi, Ukasyah berkata: "Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah."
Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian.
Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak marah pada Ukasyah. "Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah, bukankah Baginda sedang sakit..!?"
Ukasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW meminta Bilal mengambil cambuk di rumah anaknya Fatimah.
Bilal meminta cambuk itu dari Fatimah, kemudian Fatimah bertanya: "Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?"
Bilal menjawab dengan nada sedih: "Cambuk ini akan digunakan Ukasyah untuk memukul Rasulullah"
Terperanjat dan menangis Fatimah seraya berkata:
"Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku Rasulullah? Ayahku sedang sakit, kalau mau mukul, pukullah aku anaknya".
Bilal menjawab: "Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua".
Bilal membawa cambuk tersebut ke Masjid lalu diberikan kepada Ukasyah.
Setelah mengambil cambuk, Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah.
Tiba2 Abu bakar berdiri menghalangi Ukasyah sambil
berkata: "Ukasyah..! kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yang pertama beriman dengan apa yang Rasulullah SAW sampaikan. Akulah sahabatnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku".
Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".
Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah. Kemudian Umar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata:
"Ukasyah..! kalau engkau mau mukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya, itu dulu. Sekarang tidak boleh ada seorangpun yang boleh menyakiti Rasulullah Muhammad. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku..!."
Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW:
"Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".
Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah, tiba2 berdiri Ali bin Abu Talib sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Dia menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah, pukullah aku saja. Darah yang sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah".
Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW:
"Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dengan Ukasyah" .
Ukasyah semakin dekat dengan Rasulullah. Tiba2 tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW yaitu Hasan dan Husen.
Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon. "Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah, dengan memukul kami sesungguhnya itu sama dengan menyakiti kakek kami, wahai Paman."
Lalu Rasulullah SAW berkata: "Wahai cucu2 kesayanganku duduklah kalian. Ini urusan Kakek dengan Paman Ukasyah".
Begitu sampai di tangga mimbar, dengan lantang Ukasyah berkata:
"Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini."
Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Ukasyah berkata lagi:
"Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, Ya Rasulullah"
Para sahabat sangat geram mendengar perkataan Ukasyah.
Tanpa berlama2 dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yang sangat indah, sedang beberapa batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.
Kemudian Rasulullah SAW berkata:
"Wahai Ukasyah, segeralah dan janganlah kamu berlebih2an. Nanti Allah akan murka padamu."
Ukasyah langsung menghambur menuju Rasulullah SAW, cambuk di tangannya ia buang jauh2, kemudian ia peluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya. Sambil menangis sejadi2nya,
Ukasyah berkata:
"Ya Rasulullah, ampuni aku, maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu.
Seumur hidupku aku bercita2 dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka.
Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah..."
Rasulullah SAW dengan senyum berkata:
"Wahai sahabat2ku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah..!"
Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat
bergantian memeluk Rasulullah SAW. (berbagai sumber)


Sunday, 6 September 2015

Cerita Seorang Bernama Gus Dur




Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.
Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.
“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.
“Kok bisa Gus?”
“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.
Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur.
Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.
Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.
“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.
Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.
Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”
Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”
Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”
Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.
“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”
Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”
Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”
“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”
Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”
“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”
Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”
“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”
“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.
“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.
“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”
Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”
Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”
“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...”tutup Gus Dur.
Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.
Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.
Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.
Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.
Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.
Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”
Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, mantan Menpora. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.
Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.
Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.
Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan".


Friday, 4 September 2015

Kisah Nabi Uzair Yang Diwafatkan 100 Tahun





Dikisahkan, pada suatu hari Uzair sedang melintas di sebuah negeri yang porak-poranda. Pendapat yang masyhur mengatakan, negeri yang dilintasi itu adalah Baitul Muqaddas, Palestina. Ia melintasinya setelah negeri itu dulunya dihancurkan oleh Bukhtunnashir. Penduduknya juga terbunuh sehingga negeri itu tampak sepi.
Uzair melintasi bangunan-bangunan yang telah roboh. Ia berhenti sambil merenungkan mengapa kondisi itu bisa terjadi, padahal sebelumnya ramai. "Bagaimana Allah akan menghidupkan kampung ini setelah ia mati?" Hal itu diucapkannya setelah ia melihat kehancuran kampung yang dahsyat. Kemudian Allah mematikannya selama 100 tahun.
Allah menghidupkannya kembali. Pertama adalah matanya agar ia bisa melihat, berikutnya adalah anggota badannya. Ketika ia terbangun, Allah bertanya kepadanya melalui perantara malaikat. "Berapa lama kamu tinggal?" Ia menjawab, "Satu atau setengah hari." Karena ketika ia merasa tertidur, waktunya siang hari dan ketika bangkit juga pada siang hari.
Lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya kamu telah tinggal di sini selama 100 tahun. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali; kemudian Kami membalutnya dengan daging."Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) Ia pun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.'' (QS Al-Baqarah [2]: 259).
Kembali ke kampung
Setelah yakin akan kekuasaan Allah itu, Uzair kembali ke kampung dengan menaiki keledainya. Ia menyaksikan kampung itu sudah banyak diisi oleh manusia. Ketika melewati orang-orang, ternyata mereka tidak mengenalinya lagi. Ia pun mendatangi rumahnya dan di sana ada seorang wanita buta yang berusia sekitar 120 tahun.
Sebagaimana dikisahkan Ibnu Katsir, saat Uzair meninggalkan kaumnya, wanita itu berusia 20 tahun dan sebelumnya mengenal Uzair dengan baik. "Wahai Ibu, apakah ini rumah Uzair?" tanyanya. Wanita itu membenarkannya dan menangis. Sebab, selama 100 tahun tak ada orang yang menyebut nama tersebut.
Uzair pun memperkenalkan dirinya dan menceritakan tentang kematiannya selama 100 tahun. Wanita itu tak mempercayainya begitu saja. Uzair adalah seseorang yang mustajab doanya. Dan, ia senantiasa mendoakan orang yang sakit dan tertimpa musibah untuk diberikan kesehatan dan kesembuhan. "Berdoalah kepada Allah agar mengembalikan penglihatanku, sehingga aku bisa mengenalimu."
Uzair berdoa untuk kesembuhan wanita itu. Ia kemudian mengusapkan kedua tangannya ke mata perempuan tua itu. Atas izin Allah, wanita itu pun sembuh dan bisa mengenali Uzair.
Wanita itu kemudian mendatangi orang-orang Bani Israil dan mengatakan bahwa Uzair telah kembali. Namun, Bani Israil itu tak langsung mempercayainya. Setelah wanita itu bersaksi siapa dirinya, dengan serta-merta orang Yahudi itu mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Anaknya pun mengenali Uzair dari tanda hitam yang ada di antara kedua pundaknya. Mereka pun akhirnya meminta Uzair untuk membacakan kitab Taurat sebab di antara mereka sudah tidak ada lagi yang paham tentang kitab Taurat, karena telah dibakar oleh Bukhtunnashir.
Ayahnya Uzair, Sarukha, telah menyembunyikan sebuah kitab Taurat di salah satu tempat dan hanya Uzair yang tahu tempat itu. Maka, ia pun menggalinya dan mengeluarkan Taurat dari dalam tanah.
Uzair kemudian merenungi isi Taurat yang telah diingatnya dan orang-orang Bani Israil memperhatikannya. Allah kemudian mengilhamkan padanya isi Taurat dan ia menyampaikan isinya kepada Bani Israil. Sejak saat itulah, oleh Bani Israil (Yahudi), Uzair dipanggil dengan putra tuhan.
Menurut Ibnu Asakir yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abdullah Ibnu Salam bertanya padanya dan menanyakan panggilan Uzair putra tuhan itu. Ibnu Salam menjelaskan, "Ketika Uzair menulis Taurat dari hafalannya, Bani Israil berkata, 'Dulu Musa hanya bisa memberikan Taurat kepada kita dengan tulisannya, tetapi Uzair memberikan Taurat kepada kita tanpa tulisan (kitab)'." Maka, sekelompok orang mengatakan Uzair putra tuhan sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Taubah [9]: 30.
Para ulama mengatakan, turun-temurunnya kitab Taurat terputus hingga masa Uzair. Menurut Ishaq bin Bisyr, pada masanya terdapat sembilan kejadian besar, yakni Bukhtunnashir, kebun Shan'a, kebun Saba, Ashab al-Ukhduud, Hashur, Ashab al-Kahfi, Ashab al-Fiil, kota Anthakiyah, dan kejadian kaum Tubba penyembah berhala.
Menurut situs wikipedia, makamnya terletak di Busra, Syam (Suriah, sekarang). Sementara itu, menurut situs jafariyanews.com, makamnya terletak di Irak. Di daratan sungai Tigris, terdapat makamnya. Sedangkan situs gotquestion.org melaporkan, Uzair oleh dunia Barat dipanggil dengan nama prophet Ezra. Sebuah buku yang menceritakan kisahnya ditulis selama lebih kurang satu abad sejak 538 SM dan baru selesai tahun 460-440 SM. Wa Allahu A'lam


Friday, 10 April 2015

Kisah al-Balkhi Dan si Burung Pincang

Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu
seorang yang terkenal dengan
kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia
mempunyai sahabat karib yang bernama
Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat
zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim
bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke
negeri orang untuk berdagang. Sebelum
berangkat, tidak ketinggalan ia
berpamitan kepada sahabatnya itu.
Namun belum lama al-Balkhi
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia
datang lagi. Sahabatnya menjadi heran,
mengapa ia pulang begitu cepat dari yang
direncanakannya. Padahal negeri yang
ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim
bin Adham yang saat itu berada di masjid
langsung bertanya kepada al-Balkhi,
sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku,
mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku
melihat suatu keanehan, sehingga aku
memutuskan untuk segera membatalkan
perjalanan".
"Keanehan apa yang kamu maksud?"
tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah
bangunan yang telah rusak", jawab al-
Balkhi menceritakan, "aku memperhatikan
seekor burung yang pincang dan buta.
Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam
hati. "Bagaimana burung ini bisa bertahan
hidup, padahal ia berada di tempat yang
jauh dari teman-temannya, matanya tidak
bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak lama kemudian", lanjut al-Balkhi,
"ada seekor burung lain yang dengan
susah payah menghampirinya sambil
membawa makanan untuknya. Seharian
penuh aku terus memperhatikan gerak-
gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah
kekurangan makanan, karena ia
berulangkali diberi makanan oleh
temannya yang sehat".
"Lantas apa hubungannya dengan
kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin
Adham yang belum mengerti maksud
kepulangan sahabat karibnya itu dengan
segera.
"Maka aku pun berkesimpulan", jawab al-
Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang
Pemberi Rizki telah memberi rizki yang
cukup kepada seekor burung yang
pincang lagi buta dan jauh dari teman-
temannya. Kalau begitu, Allah Maha
Pemberi, tentu akan pula mencukupkan
rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh
karena itu, aku pun akhirnya memutuskan
untuk segera pulang saat itu juga".
Mendengar penuturan sahabatnya itu,
Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-
Balkhi sahabatku, mengapa engkau
memiliki pemikiran serendah itu?
Mengapa engkau rela mensejajarkan
derajatmu dengan seekor burung pincang
lagi buta itu? Mengapa kamu
mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup
dari belas kasihan dan bantuan orang
lain? Mengapa kamu tidak berpikiran
sehat untuk mencoba perilaku burung
yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan
kebutuhan hidup sahabatnya yang
memang tidak mampu bekerja? Apakah
kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu
lebih mulia daripada tangan di bawah?"
Al-Balkhi pun langsung menyadari
kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa
dirinya salah dalam mengambil pelajaran
dari kedua burung tersebut. Saat itu
pulalah ia langsung bangkit dan mohon
diri kepada Ibrahim bin Adham seraya
berkata, "wahai Abu Ishak, ternyata
engkaulah guru kami yang baik". Lalu
berangkatlah ia melanjutkan perjalanan
dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua
pada hadits yang diriwayatkan dari
Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam pernah bersabda, yang artinya:
"Tidak ada sama sekali cara yang lebih
baik bagi seseorang untuk makan selain
dari memakan hasil karya tangannya
sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah
Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih
payahnya sendiri" (HR. Bukhari)