Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu
seorang yang terkenal dengan
kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia
mempunyai sahabat karib yang bernama
Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat
zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim
bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke
negeri orang untuk berdagang. Sebelum
berangkat, tidak ketinggalan ia
berpamitan kepada sahabatnya itu.
Namun belum lama al-Balkhi
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia
datang lagi. Sahabatnya menjadi heran,
mengapa ia pulang begitu cepat dari yang
direncanakannya. Padahal negeri yang
ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim
bin Adham yang saat itu berada di masjid
langsung bertanya kepada al-Balkhi,
sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku,
mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku
melihat suatu keanehan, sehingga aku
memutuskan untuk segera membatalkan
perjalanan".
"Keanehan apa yang kamu maksud?"
tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah
bangunan yang telah rusak", jawab al-
Balkhi menceritakan, "aku memperhatikan
seekor burung yang pincang dan buta.
Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam
hati. "Bagaimana burung ini bisa bertahan
hidup, padahal ia berada di tempat yang
jauh dari teman-temannya, matanya tidak
bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak lama kemudian", lanjut al-Balkhi,
"ada seekor burung lain yang dengan
susah payah menghampirinya sambil
membawa makanan untuknya. Seharian
penuh aku terus memperhatikan gerak-
gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah
kekurangan makanan, karena ia
berulangkali diberi makanan oleh
temannya yang sehat".
"Lantas apa hubungannya dengan
kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin
Adham yang belum mengerti maksud
kepulangan sahabat karibnya itu dengan
segera.
"Maka aku pun berkesimpulan", jawab al-
Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang
Pemberi Rizki telah memberi rizki yang
cukup kepada seekor burung yang
pincang lagi buta dan jauh dari teman-
temannya. Kalau begitu, Allah Maha
Pemberi, tentu akan pula mencukupkan
rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh
karena itu, aku pun akhirnya memutuskan
untuk segera pulang saat itu juga".
Mendengar penuturan sahabatnya itu,
Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-
Balkhi sahabatku, mengapa engkau
memiliki pemikiran serendah itu?
Mengapa engkau rela mensejajarkan
derajatmu dengan seekor burung pincang
lagi buta itu? Mengapa kamu
mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup
dari belas kasihan dan bantuan orang
lain? Mengapa kamu tidak berpikiran
sehat untuk mencoba perilaku burung
yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan
kebutuhan hidup sahabatnya yang
memang tidak mampu bekerja? Apakah
kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu
lebih mulia daripada tangan di bawah?"
Al-Balkhi pun langsung menyadari
kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa
dirinya salah dalam mengambil pelajaran
dari kedua burung tersebut. Saat itu
pulalah ia langsung bangkit dan mohon
diri kepada Ibrahim bin Adham seraya
berkata, "wahai Abu Ishak, ternyata
engkaulah guru kami yang baik". Lalu
berangkatlah ia melanjutkan perjalanan
dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua
pada hadits yang diriwayatkan dari
Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam pernah bersabda, yang artinya:
"Tidak ada sama sekali cara yang lebih
baik bagi seseorang untuk makan selain
dari memakan hasil karya tangannya
sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah
Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih
payahnya sendiri" (HR. Bukhari)
No comments:
Post a Comment