Melestarikan Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dan Tradisi keNUan Berdasarkan Al-Qur an, Al-Hadits, Ijma' Dan Qiyas
Labels
- Hukum
- Inspirasi
- Internet
- Kejawen
- Kisah Hikmah
- Pesantren
- Profil Ulama
- kitab
- suami isteri
- tautan Link
- video
Showing posts with label Profil Ulama. Show all posts
Showing posts with label Profil Ulama. Show all posts
Sunday, 8 May 2016
Kesaksian Habib Luthfi Tentang alm. KH Muhammad Akrom Shofwan
Abah Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin yahya, setelah menjadi imam sholat janazah gelombang 3, beliau mengatakan : saya yakin dg dlohir dan batin saya, bahwa : Kiyai Akrom ini termasuk waliyyun min auliyaillah yg mastur.
Pernyataan beliau secara lahir dapat kita lihat, ribuan orang yg hadir ikut sholat janazah, sampai x3 sholat janazah, di masjid ihya ulumuddin komplek pon pes syafi'i Akrom pertama diimami oleh KH Asmuni, kedua oleh Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Attos, ketiga Al-Habib Muhammad Luhfi bin yahya, kemudian disholati dimasjid desa pajomblangan kedungwuni kab pekalongan.
Pernyataan Habib Luthfi diperkuat ketika tadi sore Al-Mukarrom Abah yai Dimyati Rois Kaliwungu kendal, sehabis beliau sholat janazah, didampingi putra2 beliau, Nampak dg jelas air mata beliau mengalir begitu banyak saat beliau mendoakan Kiyai Akrom. Bahkan sampai beliau keluar dari makam, beliau masih tetap menangis sambil menerangkan tentang siapa sebenarnya sosok Kiyai Akrom. Air mata seorang Alim Allaamah sekelas Abah Dim, adalah sebuah bukti dan saksi. dan banyak lagi para ulama dan habaib yg hadir untuk mendoakan kepada Almarhum Almaghfirlah KH Muhammad Akrom sofwan. diantaranya Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Segaf bin Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf.
Selamat jalan Kiyai... Imam Ghozali telah menjemput kehadiran Kiyai... Sebagaimana tadi yg disampaikan oleh KH Zuhdi Hariri dan Habib Luthfi, karena melalui lisan kiyai selalu keluar mutiara2 ihya ulumuddin. Semoga kita bisa menjadi santri yg bisa membuat engkau senang dan bangga, yg akhirnya bisa membuahkan ridlomu...Amin.....
(Muhammad Masyhadi*)
*Muhammad Masyhadi adalah generasi awal Santri alm. KH Muhammad Akrom Shofwan di Pondok Pesantren Syafi'i - Akrom, Jenggot, Pekaalongan
Wednesday, 27 April 2016
Guruku Orang NU (Silsilah Keilmuan KH Akrom Shofwan - Pekalongan)
Berikut ini adalah silsilah keilmuan salah satu ulama berpengaruh di wilayah Pekalongan dan sekitarnya yaitu KH Akrom Shofwan yang juga pengasuh pondok pesantren Syafi'i - Akrom, Jenggot, Pekalongan, Jawa Tengah.
KH Akrom Shofwan adalah santri dari KH Mahrus Ali (pengasuh pondok pesantren Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo - Kediri. Beliau menantu pendiri pondok tersebut).
KH mbah Mahrus Ali mendapat keilmuan dari mertuanya yaitu KH Abdul Karim (mbah Manab). KH Abdul Karim yang berasal Diwek, Magelang adalah pendiri pondok pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo- Kediri. Lalu KH Abdul Karim berguru kepada Syaikhina Kholil Bangkalan, Madura kurang lebih 23 tahun.
Saat usia 40 tahun KH Abdul Karim menimba ilmu di Jombang Jawa Timur pada teman lamanya yaitu KH Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlotul Ulama) .
Mbah Kholil Bangkalan dapat keilmuan dari Syaikh Abu Bakar bin Al Arif Billah As Sayid
Muhammad Syatho dari Syaikh Muhammad
Nawawi Al Bantani dari Syaikh Ahmad Zaini
Dahlan dari Syaikh Abdulloh bin Umar dari Syaikh Muhammad Solih Rois dari Syaikh Ali Al Wana'i dari Syaikh Sulaeman bin Muhammad bin Umar Al Bujaerimi Al Mishriy dari Syaikh Ahmad bin Romadlon dari Syaikh Sulaeman Al Babili dari Syaikh Abdul Aziz Zamzami dari Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Mulaibari dari Wajihuddin
Abdurrohman bin Ziyad Az Zubaedi dari
Syihabuddin bin Ahmad bin Hajar Al Haitamiy
(Syaikh Ibn Hajar) dari Abu Yahya Zakarya bin
Muhammad bin Ahmad bin Zakarya Al Anshori (Syaikhul Islam Zakarya Al Anshori) dari Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahalliy dari Syaikh Solih bin Umar bin Ruslan bin Nasir bin Solih Al Bulqini dari Syaikh Umar Al Bulqini dari Syaikh Abdurrohim Al Quroisyiy dari Syaikh
Hibatulloh Al Baar dari Syaikhul Islam Muhyiddin bin Zakarya bin Syarifuddin dari Imam Kamal Ardabili dari Syaikh Muhammad Naisaburi dari Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali Aththusiy (imam Ghozali) dari Abdul Malik ibn Yusuf bin Muhammad Al Juwaeni (imam Haromain) dari Abu Abdillah Muhammad Al Juwaeni dari Imam Abu Bakar Qofal dari Imam Ibrohim Al Maruzi dari Imam Ahmad ibn Umar bin Surej Abu Al Abas Al
Baghdadi dari Imam Abu Al Qosim dari Imam Abu Ibrohim Ismail bin Yahya Al Mazani dari AsySyaikh Al Imam Al A’zhom Ibn Abdillah bin Idris Asysyafi’i (imam Syafi’i pendiri madzhab syafi'i ) dari Al Imam Malik bin Anas dari Sayiduna Syafi’ Maula Abdillah dari Sayiduna Abdulloh bin Umar dari Rosululloh Shollahu 'Alaihi Wasallam.
Amaliah Aswaja NU Berdasarkan Ijtihad Bukan Bid’ah
Amaliah yang telah diamalkan oleh Aswaja NU, baik secara ubudiyah, fadlail, tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam dan sebagainya adalah bersumber dari Ijtihad, baik dari al-Quran, Hadis, Ijma’ Ulama maupun Qiyas. Keempat sumber hukum ini berlandaskan firman Allah:
ﻗﻮﻟﻪ : } ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍْ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍْ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ { ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻣﺘﺎﺑﻌﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ . ﻗﻮﻟﻪ : } ﻭَﺃُﻭْﻟِﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﻣِﻨْﻜُﻢْ { ﻳﺪﻝ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻷﻣﺔ ﺣﺠﺔ ... } ﻓَﺈِﻥ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻰ ﺷَﻰْﺀ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ { ﻳﺪﻝ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺣﺠﺔ ( ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ - ﺝ 5 / ﺹ 248 )
“Firman Allah yang artinya: (Patuhilah Allah dan Patuhilah Rasulullah) adalah kewajiban mengikuti al-Quran dan Sunah. Firman Allah yang artinya: (Dan Ulil Amri) menunjukkan bahwa Ijma’ ulama adalah sebuah hujjah. Dan firman Allah yang artinya: (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) menunjukkan bagi kita bahwa Qiyas adalah sebuah hujjah” (Tafsir al-Razi Mafatih al-Ghaib 5/248)
Dengan demikian, banyaknya amaliah Ahlisunnah yang melalui metode Qiyas, seperti mengucapkan niat, kirim pahala al-Quran dan sebagainya adalah menggunakan Qiyas yang dibenarkan dalam Islam, dan bukan bid’ah seperti yang dituduhkan sebagian kecil kelompok.
Sedangkan yang berkaitan dengan tradisi-tradisi yang baik adalah berlandaskan atsar berikut:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺭَﺃَﻯ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﺴَﻦٌ ﻭَﻣَﺎ ﺭَﺁﻩُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺳَﻴّﺌًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَﻴِّﻰﺀٌ ﻭَﻗَﺪْ ﺭَﺃَﻯ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔُ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔُﻮْﺍ ﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﻭﺍﻟﺒﺰﺍﺭ . ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺬﻫﺒﻲ ﻗﻲ ﺍﻟﺘﻠﺨﻴﺺ : ﺻﺤﻴﺢ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻬﻴﺜﻤﻲ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ )
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar” (Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar.
Sumber Silsilah:
Silsilah Ilmu Masyayikh PP Al Falah Ploso Kediri
Wednesday, 30 March 2016
KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa 1
Oleh Munawir Aziz
Jaringan ulama santri berjuang secara gigih dalam memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.
Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan. Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari, 2004).
Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang, dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami pembaca.
Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf, diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.
Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari 1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.
Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III. Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III (memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.
KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa 2
Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan Tuqo.
Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanera dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Muntilan. Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa 3
Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar
Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syaikh selaam delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah.
Pada tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang oleh tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci.
Di tanah Hijaz, nama "Dalhar" menemukan sejarahnya, yakni pemberian dari Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.
Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama 'alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten, dan Kiai Ahmad Abdul Haq.
Ketika mengaji di Makkah, secara istiqomah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci, sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta'dzim sekaligus sikap istiqomah Kiai Dalhar yang telah teruji.
Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab, di antaranya: Kitab Tanwir al-Ma'ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah. Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren-pesantren ternama. Di antara murid Kiai Dalhar, yakni Kiai Ma'shum (Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek.
KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa 4 (Habis)
Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Dalam catatan Ibad (2007: 31), Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur dan Kiai Arwani. Kemudian, mata rantai berlanjut, dari Kiai Ashari, Gus Miek membina hubungan dengan Kiai Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu) dan Kiai Hamid Kajoran. Lalu, dari Kiai Hamid Kajoran, Gus Miek berinteraksi dengan Mbah Juneid, Mbah Mangli dan Mbah Muslih Mranggen.
Perjuangan kebangsaan
Ketika era perjuangan melawan rezim kolonial, peran Kiai Dalhar tidak bisa dilupakan. Para pejuang di kawasan Magelang, Yogyakarta, Banyumas dan kawasan Bagelen-Kedu datang ke pesantren Kiai Dalhar untuk meminta doa. Oleh Kiai Dalhar, para pejuang diberi asma', doa dan ijazah kekebalan, serta diberi bambu runcing yang telah diberi doa. Dikisahkan, ketika para pejuang menggempur Belanda di kawasan Benteng Ambarawa, dimudahkan oleh Allah dengan semangat dan kekuatan. Dorongan doa dan semangat yang diberikan Kiai Dalhar serta beberapa kiai lainnya, menambah daya juang para santri untuk bertempur mengawal kemerdekaan.
Pertempuran laskar santri dan pemuda melawan tentara sekutu, meletus pada 21 November 1945. Atas desakan laskar dan tentara rakyat, yang dikomando oleh Jendral Soedirman, tentara sekutu mundur ke Semarang. Namun, mundurnya Sekutu juga membuat ribut di Ambarawa, yang kemudian disebut Palagan Ambarawa. Pada perang ini, Laskar Hizbullah dari Yogyakarta dan kawasan sekitar, bersatu dengan beberapa tentara rakyat mengepung Ambarawa. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, tepatnya di kawasan Jambu dan Banyubiru.
Front Ambarawa dikepung dari beberapa penjuru. Kawasan Selatan dikepung pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga. Utara ditempati pasukan Kedu dan Ambarawa, dari sisi Timur hadir pasukan Divisi IV BKR Salatiga. Pihak Belanda dan tentara Sekutu bermarkas di Kompleks Gereja Margo Agung, serta pos militer di perkebunan. Laskar santri di bawah komando Bachron Edress berhasil mengakses front Ambarawa. Laskar-laskar santri dan pemuda yang bertempur di Ambarawa, sebagian besar sowan ke Kiai Dalhar Watucongol dan Kiai Subchi Parakan untuk minta doa sebelum bergerilya.
Mbah Kiai Dalhar mencatatkan sejarah dalam jaringan ulama Nusantara, sebagai rujukan keilmuan, perjuangan serta sufisme dalam tradisi pesantren. Kiai Dalhar wafat pada 23 Ramadhan, bertepatan dengan 8 April 1959. Jasad Kiai Dalhar dikebumikan di pemakaman Gunungpring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Kisah perjuangan dan keteladanan Kiai Dalhar menjadi bukti betapa penting jaringan ulama-santri dalam mengawal negeri, menjemput kemerdekaan Indonesia[].
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, Peneliti Islam Nusantara.
Referensi:
Carey, Peter. The Power of Propechy, Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV. 2007.
Djamhari, Saleh As'ad. Strategi Menjinakkan Dipanegara: Stelsel Benteng, 1827-1830. Depok: Komunitas Bambu. 2004.
Hadi, Murtadho. Jejak Spiritual Abuya Dimyathi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2009
__________________. Suluk Jalan Terbatas Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007.
Ibad, Muhammad Nurul. Pelajaran dan Ajaran Gus Miek. Yogyakarta: LKIS. 2007
Tim Buku PWNU Jawa Timur. Peranan Ulama Pejuang Kemerdekaan. Surabaya: PWNU Jawa Timur.
Thomafi, Muhammad Luthfi. Mbah Ma'shum Lasem. Yogykarta: LKIS. 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)