BUKAN JAWA namanya jika tidak menyimpan filosofi agung tentang kehidupan. Satu dari sekian banyak nilai luhur itu termaktub dalam hamemayu hayuning bawana (memayu hayuning bawana) yang bermakna, mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.
Lebih dari itu, perwujudan memayu hayuning bawana perlu dilakukan mulai bawana alit yang bermakna pribadi dan keluarga, bawana agung yang berarti masyarakat, bangsa, dan negara, serta bawana langgeng atau alam akhirat.
Konsep memayu hayuning bawana lekat dengan ajaran Kejawen yang lekat dengan hal-hal kosmologis. Landasan dari konsep ini adalah‘eling dan waspada’. Sehingga, filosofi memayu hayuning bawana memuat dua esensi yakni sebagai ruang budaya dan spiritual budaya.
Sebagai ruang budaya, bawana dipandang sebagai jagad rame yakni tempat hidup manusia. Siapa yang berbuat baik saat masih hidup dijagad rame, akan menuai hasilnya.
Sementara sebagai spiritualitas budaya,memayu hayuning bawana berarti lebih condong pada penghayatan batin. Spiritualitas budaya mengimbangi ruang budaya. Dalamjagad rame tadi, seseorang harus mengiringinya dengan laku batin seperti tirakat agar mampu mewujudkan dunia yang tenteram. Sumber:(Fadhil Nugroho/CN41/SMNetwork)
SISTEM religi Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual orang Jawa. Olah cipta rasa karsa dan daya spiritual tersebut melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi atau sesembahan yang disebut Kang Murbeng Dumadi (sebutan lain :Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya).
Karena dasarnya telah berwujud hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual maka ada perjalanan menuju kesadaran adanya Realitas Tertinggi yang disebutKang Murbeng Dumadi tersebut. Perjalanan menuju kesadaran adalah suatu proses penalaran yang dibarengi dengan laku kebatinan yang dalam khasanah Jawa disebut laku nawung kridha. Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai “tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine”.
Sistem budaya agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat; keyakinan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, yakni adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta; memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni adanya roh-roh penjaga; yakin adanya setan, hantu dan raksasa; dan yakin adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta ini.
Dari hasil kesusasteraan juga dapat ditinjau keterkaitan antara agami Jawi dengan unsur-unsur agama Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton Mataram pada abad XVI dan abad XVIII, seperti Serat Centhini, Primbon atau Suluk. Konsep keagamaan Jawa-Bali mengenai Tuhan yang dilambangkan sebagai Dewa Ruci juga dimasukkan dalam karangan yang mengandung pandangan magis-mistik yang sangat berorientasi kepada agami Jawi seperti Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco.
Konsep mengenai Tuhan-Dewa Ruci juga banyak dijumpai dalam karya para puajangga keraton yang terkenal yang hidup dua abad sesudah itu, seperti Yasadipura I dan puteranya Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsito.
Dalam gubahannya yang berjudul Serat Sasanasunu, Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan mengenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia. Demikian halnya dengan keyakinan tentang Nabi Muhammad, sistem keyakinan agama Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah. Dalam setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, selain mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai Kanjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah.
Dalam hal keyakinan terhadap tokoh-tokoh keramat, selain keyakinan terhdap dewa-dewa yang berperan sebagai pelindung manusia, agama Jawi banyak mengangkat guru-guru agama menjadi orang keramat dalam sistem keyakinan orang Jawa seperti Walisanga, tokoh penyebar Islam yang bersifat historis. Agama Jawi juga memiliki keyakinan tersendiri terhadap konsepsi penciptaan alam semesta yang dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni :
1.Mite-mite yang mengandung unsur-unsur dominan Hindu-Budha.
2.Mite-mite yang mengandung unsur-unsur sinkretik antara Agama Jawi dan Islam.
3.Mite-mite dengan unsur magis-mistik.