Melestarikan Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dan Tradisi keNUan Berdasarkan Al-Qur an, Al-Hadits, Ijma' Dan Qiyas
Monday, 2 May 2016
Pro Kontra Pemimpin Non Muslim
Belakangan ini, isu soal kepemimpinan menjadi perbincangan yang ramai di media sosial. Pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa pemimpin yang adil, meskipun non-Muslim itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tetapi zalim disalahartikan. Potongan pernyataan tersebut disebarkan di media sosial, seolah-olah KH Said Aqil mendukung kepemimpinan non-Muslim, mengingat isu tersebut sedang kencang terkait kepemimpinan di Jakarta yang saat ini dipimpin oleh non-Muslim dan ingin melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Pernyataan tersebut kemudian dijadikan meme dan disandingkan dengan pernyataan pemimpin umat lain bahwa masih banyak pemimpin Muslim yang jujur dan adil. Segera saja, hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam.
Apa yang disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj tersebut harus dilihat dalam konteksnya, tidak berdiri sendiri dan tidak untuk mendukung kepemimpinan non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi di mana semua warga negara berhak untuk menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin yang baik, syarat utama yang harus dipenuhi adalah kejujuran dan keadilan. Sifat-sifat seperti ini bisa dimiliki oleh penganut agama apa saja, Muslim atau non-Muslim. Tetapi jika ada dua pilihan antara Muslim dan non-Muslim yang memiliki kualifikasi yang sama, tentu pemimpin Muslim yang harus diutamakan. Prinsip seperti ini sudah menjadi keputusan NU dalam Muktamar ke-30 di Pesantren Lirboyo Kediri pada 1999. Apa yang dikatakan oleh KH Said Aqil Siroj juga merujuk pada pernyataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah bahwa negara yang adil akan kekal sekalipun ia negara kafir. Sebaliknya negara yang zalim akan binasa sekalipun ia negara Islam.
Kita tentu prihatin dengan upaya mendiskreditkan Ketua Umum PBNU melalui media sosial. Perilaku seperti ini juga menunjukkan sikap tidak islami. Kelompok Islam yang memiliki pandangan bahwa Muslim harus dipimpin oleh Muslim itu merupakan pandangan yang sah, tetapi harus dilakukan dengan mekanisme yang ada. Jika ada non-Muslim yang ternyata dipercaya oleh masyarakat menjadi pemimpin, ini seharusnya menjadi otokritik bagi kelompok pendukung bahwa pemimpin harus Muslim, kenapa tidak berhasil menempatkan tokohnya sebagai pemimpin. Di sini menjadi pertanyaan bagi partai-partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam untuk mendudukkan calonnya sebagai pemimpin masyarakat
Dalam sistem demokrasi, para politisi berusaha menarik simpati dengan menggunakan isu agama, etnis, kelompok dan identitas lainnya. Ini merupakan salah satu sisi buruk dari demokrasi. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan benturan atau konflik dalam masyarakat. Kita sendiri saat ini masih belajar bagaimana berdemokrasi dengan baik. Seharusnya, para calon pemimpin menyampaikan visi misinya ke mana umat akan dibawa bukan dengan mengkampanyekan agama, etnisitas, dan identitas kelompok lainnya. Jika ini dilakukan, maka Indonesia akan dipimpin oleh orang-orang terbaik, apapun agamanya, dari manapun sukunya, atau dari manapun kelompoknya. Rakyat juga akan menikmati keberadaan pemimpin yang baik, apapun agama mereka. Dengan sistem demokrasi, India yang mayoritas Hindu pernah memiliki Presiden Muslim, yaitu Abdul Kalam. Di Kanada yang mayoritas non-Muslim Naheed Nenshi berhasil menjadi walikota beragama Islam pertama dan berprestasi sebagai walikota terbaik di dunia. Kita tentu akan semakin bangga jika semakin banyak Muslim yang berkontribusi dalam membangun peradaban di dunia, baik ketika memimpin masyarakat mayoritas Muslim atau non-Muslim.
(nu online)
Friday, 15 April 2016
Ini Yang Dibaca Rasulullah saw Saat Ziarah Kubur
Ziarah kubur termasuk di antara amalan yang dianjurkan dalam Islam. Mengunjungi makam lalu melantunkan dzikir dan doa-doa menjadi sarana (wasilah) seorang hamba untuk menghormati para pendahulu, mendoakan mereka, atau merenungi hidup yang kelak pasti akan berakhir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk orang yang tak hanya mempraktikkan ziarah kubur tapi mengajarkan apa yang hendaknya dibaca saat seseorang berkunjung ke tempat pembaringan terakhir itu. Dalam Shahih Muslim dipaparkan bahwa setiap kali keluar rumah pada akhir malam menuju Baqi’ (makam para sahabat di Madinah yang kini menjadi makam Rasulullah sendiri), Rasulullah menyapa penduduk makam dengan kalimat berikut:
السَّلامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنينَ وَأتاكُمْ ما تُوعَدُونَ غَداً مُؤَجَّلُونَ وَإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاحقُونَ
Assalâmu‘alaikum dâra qaumin mu’minîn wa atâkum mâ tû‘adûn ghadan mu’ajjalûn, wa innâ insyâ-Allâhu bikum lâhiqûn (Assalamu’alaikum, hai tempat bersemayam kaum mukmin. Telah datang kepada kalian janji Tuhan yang sempat ditangguhkan besok, dan kami insyaallah akan menyusul kalian).
Usai membaca salam ini, Rasulullah lalu menyambungnya dengan berdoa “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang disemayamkan di Baqi’.” Doa ini bisa kita ganti dengan memohonkan ampun kepada para ahli kubur tempat peziarah berkunjung.
Istiri Baginda Nabi, Siti A’isyah pernah bertanya tentang apa yang seharusnya dibaca kala ia pergi ke kuburan. Rasulullah mengajarkan bacaan dengan redaksi lain, namun dengan substansi yang tetap mirip, yakni mengucapkan salam, mendoakan kebaikan bagi ahli kubur, dan menyadari bahwa peziarah pun suatu saat akan berbaring di dalam tanah. Berikut jawaban Rasulullah:
السَّلامُ على أهْلِ الدّيارِ مِنَ المُؤْمنينَ وَالمُسْلمينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَمِنَّا وَالمُسْتأخِرِين وَإنَّا إنْ شاءَ اللَّه بِكُمْ لاحِقُونَ
Assalâmu ‘alâ ahlid diyâr minal mu’minîna wal muslimîn yarhamukumuLlâhul-mustaqdimîn minkum wa minnâ wal musta’khirîn, wa wa innâ insyâ-Allâhu bikum lâhiqûn (Assalamu’alaikum, hai para mukmin dan muslim yang bersemayam dalam kubur. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang telah mendahului dan yang akan menyusul kalian dan [yang telah mendahului dan akan menyusul] kami. Sesungguhnya kami insyaallah akan menyusul kalian."
Jawaban Nabi atas pertanyaan Siti A’isyah yang terekam dalam Shahih Muslim itu sekaligus memberi isyarat bahwa ziarah juga bisa dilakukan oleh kaum perempuan. Hanya saja, para peziarah dilarang menangis di atas kuburan. Imam Nawawi dalam Al-Adzkâr mengatakan, para peziarah disunnahkan memperbanyak baca Al-Qur'an, dzikir, dan doa untuk penghuni kubur yang diziarahi serta seluruh umat Islam yang telah meninggal dunia. Ziarah dianjurkan dilaksanakan sesering mungkin dan diutamakan ke kuburan orang-orang saleh. (Mahbib)
Sumber: NU Online
Wednesday, 13 April 2016
Pengertian Bid'ah Menurut Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Penulis: Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Republik Mesir)
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.
Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah.
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah.
Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima.
Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:
1. Bid'ah wajib.
2. Bid'ah haram
3. Bid'ah sunah
4. Bid'ah makruh
5. Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus.
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
1. Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
2. Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah :
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
- Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
- Bid'ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
- Bid'ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
- Bid'ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.
- Bid'ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Ini sebaik-baik bid'ah.
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,
"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."
Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Inilah sebaik-baik bid'ah.
Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
1. Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
2. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.
Wallahu a'lam
Sumber:
https://mobile.facebook.com/islamunasearch/photos/a.1441186266112429.1073741828.1433990446832011/1758810487683337/?type=3&refid=28&_ft_=qid.6272823681202941515%3Amf_story_key.-4189676501423436679&__tn__=%2As
Monday, 28 March 2016
Apa Itu Tahlilan?
Dalam acara tahlilan ada beberapa point dalam tahlilan,sebelum menginjak point baiknya kalian faham apa itu tradisi tahlilan ;
-> Tahlilan adalah acara tradisi yang dilakukan jama'ah muslim untuk mendoakan ,bersedekah pada saudara yang meninggal dan biasanya dilakukan dengan berjama'ah di tempat keluarga yg ditinggal mati ,tradisi ini dilakukan dengan istiqomah dan berkembang,biasanya setelah pembacaan doa,dzikir,baca quran diadakan jamuan oleh ahli mayit untuk pendoa yang diundang itu ,tradisi ini hampir sama dengan adat slametan dari agama lain,letak perbedaanya pada isi tradisi itu sendiri,tradisi tahlilan biasanya berlangsung 1 -1000hari(tamat).
-demikian itu pengertian tradisi tahlilan yang menjadi perbincangan,dari uraian diatas terdapat p0int atau pokok pokok yang dipermasalahkan oleh sebagian kelompok lain yang tidak menyukainya,antara lain;
A.masalah doa pada mayyit dgn berjamaah
B.doa atau dzikir yang keras(kata si penuduh)
C.tentang tasyabbuh
D.tentang hukum menghdangkan makanan dari keluarga duka
E.tentang hukum berkumpul dirmh duka
F.tentang sedekah pada mayit yg diperselisihkan
G.tentang merangkai susunan dzikir
H.tentang pembacaan quran yang dipeselisihkan
I.tentang hukum atau tentang permasalahan hari hari yang ditentukan(1 -1000hari )
J.tentang hujjah hujjah dan argument dari penuduh sesat seperti argument; laukana khoiron lasyabakuna ilaih,ibadah harus diperintah,Nabi dan sahabat tidak tahlilan,islam sudah sempurna,membuat syareat sendiri,tentang bid'ah,dan laenya yang bisa kalian tambah
---
Pihak kami (pengamal tahlilan) perlu menjelaskan dalil tahlilan 1-1000hari diantara dalilnya setelah kalian mengetahui pengertian acara tradisi tahlilan ,maka mengacu dalam beberapa pokok diatas antara lain;
1.dalil doa dan sedekah pada mayit
2.dzikir jama'ah dgn jahr
3.dalil menghidangkan makanan dikeluarga duka oleh keluarga yg brduka
4.dalil bolehnya merangkai susunan dzikir dan menentukan istiq0mah pada hari hari 1-1000hari(tamat)
- jadi kalau pihak pengamal tahlilan sudah menyampaikan dalilnya dari 4 point tersebut,maka pihak penuduh sesat sudah tidak berhak menuduh sesat,jika pihak pengamal tahlilan mengajukan dalil 4 point tersebut maka gugur pula tuduhan sesat dari pihak penuduh sesat,dan sesuai ilmu dari beberapa hadits saheh, ketika gugur tuduhan sesat dari pihak penuduh kepada yang tertuduh,maka kesesatan itu pula kembali kepenuduh,dan tiap tiap (kullu jam'i) kesesatan dineraka, bisa disimpulkan tiap tiap firqoh penuduh(ustazd dan murid sekaligus pendukung penyebar virus Ini maka keluar dari aljamaah,karna aljamaah tidak mungkn dineraka,karna biasanya mereka senang dengan terasingkan ini juga bukti kuat siapa mereka(tamat)
-dalam hal ini banyak file,banyak artikel diwebsite tentang dalil 4 pokok tersebut,kalian bisa melihat blog blog sunni,konsultasi akan kebenaranya,.
-Di akir pesanku ; ''kalian baca dan lihat bukti dialam nyata maupun alam maya siapa penuduh itu dan siapa ustazd ustazdnya sudah terang benderang menuduh dan menyebarkan virusnya'',sebelum aku akiri postingan masih banyak perbincangan Antara sunni dengan lawanya ,diantaranya;
A.tawasul
B.ziarah
C.tabaruk
D.syirik
E.amalan sholawat rangkaian Ulamak
F.i'tiqod
G.manaqiban,sholawatan,mauludan,
H.banyak tak perlu disebut.
-mengenai melafazdkan niat,qunut itu saya tidak berhak memperbincangkan,karena antar madzhbpun ini berbeda pendapat
-kecuali amalan diatas itu bukan perbedaan madzhab, tapi itu fitnah dari kaum yang sok nyunnah maka perlu diperbincangkan,.dan masih bnyak pembahasan yg membahas firqoh yg masuk neraka dibuktikan dgn fakta dan dalil ,tapi sebanyak itu tak cukup 1 postingn,bab tahlilan saja saya ringkas.
-SEGLINTIR penjelasan TAHLILAN
-setelah kalian mengetahui pengertian tahlilan maka kami ajukan dalil;
A. Dalil pengadaan tahlilan(membuat acara tahlilan)
- dari sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.(HR. Muslim no 1017)
* PENJELASAN;
lafazd sanna(merintis) untuk sunnah hasanah bisa juga berarti memulai amalan sunnah Nabi ,tetapi kaifiyah ataupun sifat sifatnya berbeda dengan dari contoh Rosul,perhatikan !
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ
Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah : 133 [8/340] dalam kitab al-Mushannaf)
- sholat memang dari Ajaran Rosul tetapi sholat ingdalqotli ini jelas perkara baru ,makanya Lafazdnya menggunakan sanna ,.
- sebagaimana tahlilan,mauludan dan sejenisnya ini adalah subtansinya mengamalkan sunnah Nabi tetapi kaifiyah ataupun sifat sifatnya berbeda,
-mendoakan ikhwan meninggal dan sedekah padanya itu perkara sunnah Nabi,tetapi berbeda cara yang dilakukan maka pantaslah dalil pengadaan Tahlilan dan mauludan ini menggunakan dalil diatas, mengenai lafazd Sunnah sayyiah dlam hadits diatas maka ini bukti kedua bahwa lafazd sanna itu bukan menghidupkan sunnah Nabi secara mutlak persis dengan Nabi..dan tak mungkin pula sunnah sayyiah itu sunnah Nabi.
Dan sunnah hasanah ini jika ditiru orang lain ,kemudian ditiru orang setelahnya,maka pahala mengalir terus dan inilah Namanya mengapa kami pengamal tahlilan dan mauludan mengerjekan dengan continue karena pahala mengalir bagi yang meniru mengamalkan ini(tamat)
B.Dalil melakukan tahlilan
Terdapat 4 poin dalil melakukan hal ini;
1.dalil doa dan sedekah pada mayit
2.dzikir jama'ah dgn jahr
3.dalil menghidangkan makanan dikeluarga duka oleh keluarga yg brduka
4.dalil bolehnya merangkai susunan dzikir dan menentukan istiq0mah pada hari hari 1-1000hari(tamat)
PENJELASAN N0M0R 1-4,TIDAK CUKUP 1 POSTING, LEBIH BAIKNYA DIDISKUSIKAN,TAPI ANE SIANG SIBUK
C.bab kaedah ushul dan kaedah fiqh tentang tahlilan,ushul fiqh untuk menggali hukum sedang kaedah fiqh untk menghadirlnya (tidak cukup satu posting)
D.PEMBUKTIAN FAKTA bahwa PENUDUH SESAT ataupun syirik ITU pengikut DAJJAL,PENIPU UMMAT,SAYA ANALISA BERTAHUN TAHUN BERDASAR FAKTA DAN DALIL AQLI MAUPUN NAQLI
F.kesimpulan dan saran(tamat)
Sumber:
https://mobile.facebook.com/groups/1670691323163160?view=permalink&id=1768869090012049&refid=28
Saturday, 19 March 2016
15 Syarat Mentafsirkan Al-qur an Yang Harus di Ketahui
SEBELUM ANDA INGIN MENAFSIRKAN AL QUR'AN,KUASAI DULU 15 BIDANG ILMU BERIKUT INI :
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata al Quran. Mujahid rah.a. berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang ayat-ayat al Quran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jika mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa), Sangat penting mengetahui ilmu Nahwu, karena sedikit saja I’rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti perkataan itu. Sedangkan pengetahuan tentang I’rab hanya didapat dalam ilmu Nahwu.
.
3. Ilmu Sharaf (perubahan bentuk kata), Mengetahui Ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, “Jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Quran yang berbunyi:
“(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami panggil setiap umat dengan pemimpinya. “(Qs. Al Isra [17]:71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini:“pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk jamak dari kata ‘um’ (ibu). Jika ia memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
.
4. Imu Isytiqaq (akar kata, Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakkan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
.
5. Ilmu Ma’ani, Ilmu ini sangat penting di ketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat di ketahui dengan melihat maknanya.
.
6. Ilmu Bayaan, Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu di atas juga di sebut sebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Quran adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu di atas, kemukjizatan al Quran dapat di ketahui.
.
8. Ilmu Qira’at, Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat di antara makna-makna suatu kata.
.
9. Ilmu Aqa’id, Ilmu yang sangat penting di pelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan, kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat:
“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Qs. Al Faht 48]:10)
.
10. Ushu l Fiqih, Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil
dan menggali hukum dari suatu ayat.
.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul, Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al Quran. Dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, maka maksud suatu ayat mudah di pahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.
.
12. Ilmu Nasikh Mansukh, Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hokum uang sudah di hapus dan hokum yang masih tetap berlaku.
.
13. Ilmu Fiqih, Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hokum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
.
14. Ilmu Hadist, Ilmu untuk mengetahui hadist-hadist yang menafsirkan ayat-ayat al Quran.
.
15. Ilmu Wahbi, Ilmu khusus yang di berikan Allah kepada hamba-nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi Saw..,,
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui.”
.
Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak di berikan kepada orang lain?” Maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Quran yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al Quran dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.
.
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan di atas adalah alat bagi para mufassir al Quran. Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menfsirkan al Quran, berarti ia telah menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah di sebutkan dalam banyak hadist. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa Arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.
.
Iman Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada di luar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukkan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
.
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan al Quran:
.
(1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab.
.
(2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatan itu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Quran.
.
(3) Orang yang dalam aqidahnya hanya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Quran yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Quran dengan benar.
Wallohu a'lam
sumber ; FP himpunan santri indonesia
Monday, 14 March 2016
Membedar Pemimpin Non Muslim Menurut Al-Qur an

Polemik pemilihan pemimpin non muslim di daerah atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sudah sejak lama menjadi perdebatan. Persoalan itu makin mengemuka ketika di daerah tertentu pemimpin atau calon pemimpin dipilih karena ia dianggap lebih layak dan lebih adil dibanding lainnya.
Sebuah kajian menarik, ilmiah, renyah dan mencerahkan yang ditulis oleh Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand,Nadirsyah Hosen. Tanpa tendensi kepentingan politik atau bahkan fanatisme golongan/sekte, dia berusaha membongkar jawaban Al Qur’an QS Al Maidah: 51 terhadap fenomena pemimpin non muslim dengan pendekatan Tafsir ibn Katsir.
Benarkah QS. Al Maidah: 51 melarang kita memilih non-muslim sebagai pemimpin?
Ini terjemah QS Al-Ma’idah: 51 yang belakangan ini banyak beredar:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” mu; sebagian mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Kata “awliya” dalam Qs al maidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an depag menerjemahkannya sebagai “pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal al Thabary dan Ibn Katsir tidak menunjukkan kata “awliya” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
Penjelasan Tafsir Ibn Katsir mengenai asbabun nuzul QS al Maidah ayat 5:
“Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” kalian….(Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.
Demikian penjelasan Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas. Ini ayat senada:
QS al -Nisa ayat 144:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?”
Ayat 144 surat al Nisa di atas juga melarang kita mengambil orang non muslim sebagai “awliya”. Mari kita cek apa penafsiran Ibn Katsir terhadap makna “awliya” dalam QS al Maidah ayat 51 sama maknanya dg QS al Nisa 144:
Kata Ibn Katsir:“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.”
Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai pemimpin baik di QS al Ma’idah ayat 51 maupun an Nisa ayat 144. Yang dimaksud adalah temenan dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks al Ma’idah ayat 51 itu saat muslim kalah dalam perang uhud. Jadi ada yg tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak yahudi dan nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً ”
“Sesungguhnya manusia telah sepakat bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin.”
Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut.
Kalau ada orang Muslim, yang bersikap zhalim dan melakukan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah tidak akan menolong orang yang zhalim.
Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis. Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-olah sebagai “ayat pilkada”
smile emotikon
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand
Sumber: Muslimedianews
Thursday, 25 February 2016
Hukum Menshalatkan Koruptor Dan Terroris
Aksiteror dan korupsi dengan segala bentuknya dan motifnya mendadak jadi kejahatan paling terkutuk setidaknya pada lima belas tahun terakhir di Indonesia. Bahkan orang-orang yang terlibat atau menikmati dua jenis kejahatan ini ikut juga melaknat perilaku teror dan perilaku koruptif yang dilakukan orang lain.
Aksi teror dan tindak kejahatan korupsi karenanya menjadi musuh masyarakat. Tidak heran saat aksi teror atau tindak kejahatan korupsi tercium oleh media, masyarakat mengumpat pelakunya dengan sebutan “Dajjal”.
Dampak kejahatan setingkat Dajjal ini bisa dilihat dan diraba langsung oleh pancaindra. Banyak sekali kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat aksi teror dan tindakan korupsi.
Karena aksi teror, seorang istri menjadi janda, seorang suami menjadi duda, anak-anak menjadi yatim, orang-orang sehat menjadi cacat, aset-aset dan fasilitas umum menjadi rusak, orang-orang menjadi resah.
Sementara korupsi menurunkan derajat kemuliaan seseorang. Yang paling kentara, korupsi meruntuhkan keikhlasan. Mereka yang diamanahkan melayani masyarakat, justru merasa paling berjasa dan mengharapkan imbalan di luar gaji pokok. Layanan untuk masyarakat umum atau mewujudkan kepentingan umum bergeser menjadi layanan untuk kepentingan “pemborong”.
Atas dasar ini kejahatan teror dan perilaku busuk korupsi digolongkan sebagai dosa besar yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Khazanah ulama menyebutnya sebagai “kaba’ir” dosa besar yang mengundang laknat Allah beserta makhluk-Nya hingga ikan-ikan di dasar laut.
Terlebih lagi kejahatan teror. Kejahatan ini bisa juga masuk ke dalam kategori bid’ah dan zindik. Pasalnya pelaku teror kerap mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah seperti membunuh manusia dalam kondisi aman atau membunuh diri dengan meledakan bom di keramaian.
Aksi sweeping tempat-tempat hiburan atau rumah ibadah agama lain juga termasuk salah satu bentuk teror. Demikian juga aparat birokrasi yang menjadi centeng atas kepentingan-kepentingan perusahaan tertentu dengan mengintimidasi masyarakat demi kelancaran aktivitas perusahaan yang bersangkutan.
Tetapi segagah apa pun, teroris dan koruptor juga tetap mengalami kematian sebagaimana makhluk hidup pada umumnya. Lalu bagaimana kalau mereka wafat? Apakah umat Islam tetap diwajibkan untuk memandikan, mengafankan, menyembahyangkan, dan memakam jenazahnya? Ibnu Rusydi dalam Bidayatul Mujtahid menerangkan sebagai berikut.
وأجمع أكثر أهل العلم على إجازة الصلاة على كل من قال لا إله إلا الله. وفي ذلك أثر أنه قال عليه الصلاة والسلام "صلوا على من قال " لا إله إلا الله " وسواء كان من أهل كبائر أو من أهل البدع، إلا أن مالكا كره لأهل الفضل الصلاة على أهل البدع، ولم ير أن يصلي الإمام على من قتله حدا. ومن العلماء من لم يجز الصلاة على أهل الكبائر ولا أهل البغي والبدع. وأما كراهية مالك الصلاة على أهل البدع فذلك لمكان الزجر والعقوبة لهم.
Mayoritas ulama sepakat membolehkan umat Islam untuk menyembahkan jenazah setiap orang yang mengucapkan “Lâ ilâha illallâh” baik jenazah itu pelaku dosa besar maupun ahli bid‘ah. Hanya saja Imam Malik memakruhkan orang-orang terpandang atau terkemuka untuk ikut menyembahyangkan jenazah ahli bid’ah. Tetapi Imam Malik tidak berpendapat perihal pemerintah menyembahyangkan jenazah mereka yang terkena hukuman mati (hudud). Bahkan sebagian ulama tidak memperbolehkan masyarakat menyembahyangkan jenazah pelaku dosa besar, pelaku zina, dan pelaku bid‘ah. Pilihan makruh oleh Imam Malik lebih pada kecaman dan sanksi (sosial) untuk mereka.
Dari keterangan di atas, Ibnu Rusydi mengisyaratkan bahwa ulama, para kiai, para ustadz, modin, amil, dan juga orang terpandang di sebuah masyarakat tidak perlu hadir menyembahkan jenazah teroris, pelaku sweeping, koruptor, mereka yang menyalahgunakan jabatan.
Cukup masyarakat awam yang menghadiri upacara sembahyang dan pemakaman jenazah mereka. Ini merupakan bentuk sanksi sosial dan kecaman keras atas kejahatan-kejahatan besar seperti teror, korupsi, sweeping yang sangat merusak kehidupan masyarakat umum.(nu online)
Wednesday, 24 February 2016
Memakai Helm Saat Berkendara Tidak Ada di Zaman Rasulullah saw
Sering kita temui diruas-ruas jalan, kita lihat serombongan orang yang berboncengan di atas motor. Umumnya mereka berkendara secara beriringan serta berpakaian putih-putih. Diantara yang berboncengan ada yang memegang bendera, berkibar tertiup angin seiring laju motor.
Pemandangan seperti itu, memang kerap kali ditemui, khususnya ketika ada hajatan pengajian dari majelis-majelis yang menjamur di ibukota. Namun yang menarik bukan pakaian yang mereka kenakan, namun kopiah, peci atau sorban yang melilit dikepala yang mereka kenakan sebagai pengganti helm.
Padahal mereka sedang berkendaraan, dan melaju di jalanan umum. Mereka seolah tak peduli, bahwa aturan lalu lintas mewajibkan pengendara roda dua pakai harus melindungi kepalanya dengan helm.
Suatu ketika, ada seorang polisi menghentikan seorang bapak pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm dimana bapak itu hanya mengenakan peci berwarna putih sebagai penggantinya.
Tanpa pikir panjang, polisi pun menghentikan laju kendaraan tersebut lalu bapak itu untuk menunjukan surat kelengkapan seperti SIM dan STNK. Namun, tanpa disangkan dengan keras si bapak justru menolak permintaan polisi. Adu mulut pun tak terhindarkan.
Rasulullah saja tidak pakai helm
Polisi : (Mengeluarkan buku tilang) Maaf, boleh saya melihat SIM dan STNK anda?
Bapak : Sebutkan apa kesalahan saya.
Polisi : Anda tidak mengenakan helm.
Bapak : Saya tidak akan mengenakan helm, itu bukan sesuatu yang wajar di agama saya.
Polisi : (Sedikit bingung) Maksud anda?
Bapak : RASULULLAH SAJA TIDAK PAKAI HELM. JADI JANGAN MINTA SAYA MENGENAKAN SESUATU YANG TIDAK DIKENAKAN OLEH BELIAU.
Polisi : (Menutup bukunya dan tersenyum ramah) Begitu ya pak? Tapi setahu saya juga, RASULULLAH TIDAK MENGENDARAI MOTOR. Dan pertanyaan saya pun sederhana, andai zaman itu sudah ada motor, APAKAH ANDA YAKIN RASULULLAH TIDAK AKAN PERNAH MEMAKAI HELM?
Bapak : (Tersentak dan terdiam seketika)
Polisi : Anda dengan mudahnya mengharamkan yang anda benci, tapi menghalalkan yang anda sukai seolah-olah andalah penentunya. AlhamduliLLAH saya juga punya ilmu agama yang baik, dan saya percaya bahwa RASULULLAH lebih menyukai umatnya yang melindungi kesehatannya dan keluarganya.
Bapak : Apa maksud bapak? Apakah hanya karena helm berarti saya tak melindungi keluarga saya?
Polisi : Benar. Bahwa jika terjadi hal buruk yang mencelakai kepala anda akibat benturan, apakah keluarga anda tidak akan menerima akibatnya? Bagaimana perasaan takut dan tertekan yang akan mereka rasakan? Siapa yang nanti akan menafkahi mereka?
Bapak : ALLAH yang akan menafkahi mereka.
Polisi : Lewat siapa? Bukankah rezeki yang diberikan ALLAH seringkali lewat orang lain? Dan bukankah rezeki yang mereka terima itu lewat anda? Jika anda cacat, maka aliran rezeki akan lewat orang lain, bisa jadi ‘ayah tiri anak-anak anda’. Dan apakah anda ikhlas dengan itu?
Bapak : (Sekali lagi terdiam sambil mengeluarkan SIM dan STNK)
Polisi : Ini pesan saya buat anda pak, melindungi diri anda sama halnya dengan melindungi keluarga anda. Mungkin ini hanya sebuah helm, tapi bayangkan perasaan nyaman yang dirasakan istri anda saat melihat kepala suaminya terlindungi. Dan jika anda mencintai keluarga anda, maka anda pasti mengurangi resiko yang membahayakan anda. Hari ini saya tak menilang anda, anggaplah nasehat barusan sebagai surat tilang saya untuk anda.
Nah, semoga saja tingkat kesadaran pengguna motor meningkat, sehingga hal seperti ini tak akan terjadi lagi. Ada yang mau tambahin? Share di kolom komentar ya.
Saturday, 13 February 2016
Majelis Tarjih Muhammadiyah Memperbolehkan Perayaan Maulud Nabi Muhammad saw

Berikut fatwa lengkap Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang pelaksaan Maulid Nabi Muhammad SAW :
Pertanyaan Dari:
Untung Sutrisno, Jl. Gn. Bentang 13 RT 05/13 Perum Panglayungan Tasikmalaya
(disidangkan pada hari Jum'at, 27 Syawal 1430 H / 16 Oktober 2009)
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Di kampung kami ada yang menyelenggarakan Maulid Nabi tapi ada sebagian yang mengatakan tidak perlu diselenggarakan. Bagaimana menurut Majelis Tarjih mengenai hal ini?
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Pertanyaan tentang penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw seperti yang saudara sampaikan pernah ditanyakan dan telah pula dijawab oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Untuk itu, kami sarankan saudara membaca kembali jawaban-jawaban tersebut, yaitu terdapat dalam buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah Jilid IV, Cetakan Ketiga, halaman 271-274, Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 Tahun Ke-90 16-30 Juni 2005 dan juga di Majalah Suara Muhammadiyah No. 1 Tahun Ke-93 1-15 Januari 2008. Namun demikian, berikut ini akan kami sampaikan ringkasan dari dua jawaban yang telah dimuat sebelumnya tersebut.
Pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya. Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat Muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw tersebut, yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar kemaslahatan.
Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbutan bid'ah dan mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad saw secara berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya. Nabi Muhammad saw sendiri telah menyatakan dalam sebuah hadis:
عَنْ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.]رواه البخاري ومسلم[
Artinya:“Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.”[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Adapun yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini, adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad saw yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus mengandung manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan taqwa serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara menyelenggarakan pengajian atau acara lain yang sejenis yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi saw.
Allah SWT telah menegaskan dalam al-Qur'an, bahwa Rasulullah Muhammad saw adalah sebaik-baiknya suri teladan bagi umat manusia. Allah berfirman:
Artinya:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”[QS. al-Ahzab (33): 21]
Wallahu a'lam bish-shawab. *amr)
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com ppmuh_tarjih@yahoo.com
Sumber:
- http://www.fatwatarjih.com/2011/09/peringatan-maulid-nabi-muhammad-saw.html
Kedua Orangtua Nabi Muhammad saw Masuk Neraka, Benarkah Demikian?

Kedua orang tua Muhammad saw hidup pada masa pra Islam. Yaitu suatu fase kekosangan dari dakwah Nabi. fase tersebut disebut FATROH, dan orang yang hidup dimasa itu disebut Ahli Fatrah yaitu, orang-orang yang hidup diantara masa dua rasul, dan rasul yang pertama tidak diutus untuk berdakwah kepada mereka, sedangkan mereka tidak menemukan masanya rasul yang kedua. Ulama Ahli fiqh mengatakan bagwa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang Arab yang hidup setelah masa hidupnya Nabi Isa AS dan belum bertemu masa Nabi Muhammad Saw.
Imam Suyuthi menjelaskan tentang Ahli Fatroh:"Ketika dalil yang pasti dan tidak terbantahkan lagi telah menenjukkan bahwasannya tiada penyiksaan (di akhirat) kecuali setelah datangnya hujjah atau agama (di dunia), maka kami bisa mengetahui bahwa mereka Ahli Fatrah tidak akan disiksa."
Para ulama Maturidiyah berkata:"Orang yang mati sebelum melewati waktu yang sekiranya bisa berangan-angan tentang agama, sedangkan dia belum sampai iman atau kufur, maka tiada siksaan baginya (selamat). Berbeda jika dia telah mempercayai kekufuran atau meninggal setelah melewati waktu sekira bisa berangan-angan dan dia tidak mempercayai apa-apa, maka dia tidak selamat."
Maka dari itu Ahli Fatrah ada tiga Kriteria:
- Orang yang tidak bertauhid pada Allah dihatinya. Dan sebagian tidak mengikuti syariat nabi-nabi, seperti Qis bin Saida dan Zaid bin Amr. Dan sebagiannya lagi ada yang sampai mengikuti syari'at yang benar & berlaku, seperti Tubba'.
- Orang yang mengganti, merubah, menyekutukan, menciptakan syari'at sendiri, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh seperti Amr bin Lahay. Yaitu, orang yang memprakarsai penyenbahan berhala. Bukan hanya itu, dia juga membuat hukum-hukum syari'at sendiri, dan mendakwahkan pada orang lain, dan orang orang menyembah jin, dan malaikat.
- Orang yang tidak menyekekutukan dan tidak pula bertauhid serta tidak mengikuti syari'at nabi siapapun, tidak membuat hukum syari'at, dan tetap dalam keadaan seperti itu. biasanya mereka yang hidup di hutan pedalaman.
Apabila ada hadits-hadits yang mengatakan tentang siksaan kepada seseorang dari mereka para Ahli Fatrah, maka dimasukkan ke bagian yang kedua. Adapun bagian yang ketiga, adalah para Ahli Fatrah yang selamat dan tidak disiksa.
Hukum Kedua Orang Tua (Ayah dan Ibunda) Rasulullah Saw.
Berkata Imam Ibnu Hajar dalam kitab Syarh Hamaziah karya Imam Bushiri:
لم تزل في الضمائر الكون تختا * ر لك الأمهات والأباء
"Senantiasa dalam rahasia alam ini* engkau (nabi) selalu dipilihkan dari ibu ayah pilihan"
Alloh berfirman Allah ta'ala:
وتقلُّبَك فى السَّاجدين
"dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud." (QS Asy-Syuara' [26]: 219).
Menurut salah satu penafsiran ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah pindahnya nur Muhammad dari orang yang sujud kepada orang yang sujud.. Ayat ini merupakan legalisasi bahwa garis keturunan nabi Muhammad s.a.w diwariskan dan diturunkan dengan jalur suci dari masing masing individu yang dipilih alloh s.w.t dari nabi adam. Dan sabda Nabi Muhammad Saw:
(لمْ أَزَلْ أُنْقَلُ مِن الأَصْلَابِ الطّاهراتِ إلى الأَرحام الزَّكِيَّات)
"Tiada henti-hentinya aku dipindah dari punggung-punggung yang suci ke rahim-rahim yang bersih."
Hadits ini merupakan pengejawantahan bahwasannya tidak ada sama sekali dari sekian banyak utusan nabi yang menyekutukan Allah Swt. Dan garis keturunannya merupakan garis keturunan yang terpilih. Dan tidak ada dari datuk nabi Muhammad kecuali menjadi pemimpin di masanya seperti kata sebuah syair menyebutkan:
فألئك السادة لم ترى مثلهم * عين على متتابع الاحقاب
زهر الوجوه كريمة احسابهم * يعطون سائلهم بغسر حساب
Namun masih banyak orang yang salah faham dan mengatakan bahwa kedua orang tua nabi Muhammad s.a.w Ahli Neraka. Dengan dalih bahwa mereka tidak mengucapkan dua kalimat syahadat selama hidupnya.
Al-Imam Abu Hanifah, ia mengutarakan bahwa semua para nabi itu maksum (terpelihara) dari hakikat kekufuran begitu pula segenap orang tuanya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kelahiran para nabi harus dari kedua orang tua yang muslim atau matinya orang tua yang bukan muslim sebelum kelahiran mereka. Akan tetapi yang kedua ini, sangatlah langka ditemukan. Bahkan tidak mungkin dan tidak terjadi dikalangan orang tua perempuan (karena ia yang melahirkan).
Dikisahkan bahwa Nabiyulloh Adam dan Sayyidatuna Hawa melahirkan 40 anak dalam 20 kandungan (setiap lahir kembar) kecuali nabi "Tsis" karena Allah ingin menunjukkan karomah bagi Nabi Muhammad s.a.w dan kemudian sesaat sebelum wafat berpesan kepada anaknya agar tidak meletakkan Nur yang diwariskan ini kepada wanita sembarangan kecuali kepada yang suci.
Sebenarnya kalau kita kroscek ternyata hadits-hadits dijadikan tendensi sebagian orang yang apatis terhadap kedua orang tua Rasulullah, semuanya kurang relevan dan kontradiktif. Haditsnya-pun derajatnya 'ahad. Oleh karenanya, hadits tersebut tidak masuk dalam hal akidah atau yang berhubungan dengan kepercayaan. sebab dalam hal akidah atau kepercayaan yg dipakai adalah hadits mutawatir.
Jika anda bertanya : "bukankah Azar ayah nabi Ibrohim juga masuk neraka???.
Jawabannya : adapun hadits tentang "Azar"yang benar bahwa dia bukanlah ayahanda dari nabi Ibrahim A.S. Tetapi dia adalah paman beliau. Sedangkan ayahanda beliau bernama Faruh. Sedangkan orang arab jika memanggil paman dengan sebutan ayah. Sebab mereka menganggap paman mereka seperti ayah sendiri. Bahkan Al-Qur'an sendiri menyebutkan hal ini:
وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ
"Dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail." (QS Al-Baqarah [1]: 133) Padahal yang dimaksud adalah paman Ayyub as.
Jika anda protes dengan bertanya : "lalu apa jawaban anda atas pengakuan nabi bahwa ayahnya di neraka seperti yang disebutkan di hadits muslim???.
Jawabannya : Tentang hadits yang diriwayatkan Muslim: Seorang laki-laki berkata, dimanakah ayahku wahai Rasulullah? beliau menjawab: "Di Neraka." lalu setelah dia berpaling, Rasulullah memanggil kembali seraya berkata: "Sesungguhnya, ayahku dan ayahmu berada di Neraka."
Ada dua opsi untuk menjawabnya yang pertama kita Wajib melakukan penakwilan. Paling jelasnya pentakwilan menurut kami, yaitu Rasulullah Saw. bermaksud dengan ucapan 'ayah' adalah paman beliau sesuai adat Arab yang memanggil paman dengan panggilan ayah. Inilah yang dinamakan majaz. Adapun tanda adanya majaz dalam hal ini, yaitu ayat yang akan datang penyebutannya, yang menunjukkan kebalikan dari redaksi ayat menurut yg diakui madzhab Ahlus Sunnah pada pendapat yang paling shahih (benar). sedangkan paman beliau Nabi menanggung dan merawat nabi setelah kakeknya Abdul Muthallib.
Yang kedua maksud dari jawaban beliau Nabi dalam hadits tersebut yaitu demi menyenangkan hati pemuda tersebut agar tidak murtad. Karena yang didengar pertama kali oleh dia adalah, ayahnya berada di Neraka. Jawaban ini diperkuat dengan Argument, bahwa beliau Nabi berkata yang kedua kalinya, setelah dia berpaling untuk pergi. Atau, jawaban beliau tersebut sebelum turunnya ayat kepada beliau:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
"tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul." (QS Al-Isra' [17]: 15).Seperti kejadian ketika beliau ditanya tentang anak-anak orang musyrik, beliau menjawab bahwa mereka bersama ayah-ayahnya (di Neraka). lalu ketika ditanya kembali masalah itu, beliau menjawab mereka di Surga.
Diriwayatkan ibnu Mardawaih saat memaknai ayat
لقد جاءكم رسول من انفسكم بفتح الفاء انا انفسكم نسبا وصهرا وحسبا ليس في ابائي نت لدن ادم سفاح كلها نكاح
Beliau mengatakan bahwa nabi berkata aku paling mulia diantara kalian nasab, keturunan, dan keluarga tidak ada diantara ayahku yang terjerumus perzinahan semuanya menikah.
Kalau anda protes dengan berkata : "Bukankah Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa orang tua nabi di neraka??
Jawabannya : Kita perlu Kritis disini sebab tidak semudah itu sekaliber Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mulia. sebagian naskah ternyata mengatakan begini:
ووالدا رسول الله صلى الله عليه وسلم ماتا على الكفر, وأبو طالب مات كافرا
Artinya "Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. meninggal dalam kekufuran sedangkan paman beliau meninggal dalam keadaan kafir."
Dan ini jelas tidak serasi. Karena, jika beliau Abu Hanifah bermaksud berkata begitu, maka dia akan menyebutkan semua dalam satu lafazh. Yang benar adalah bahwa ada kebohongan dari oknum yang tidak bertanggung jawab yang merubah dari naskah aslinya. Mereka menyangka, bahwa huruf mim adalah mim zaidah(tambahan). Mereka ceroboh dan membuang mim itu. Karena yang benar naskahnya adalah:
ووالدا رسول الله ما ماتا على الكفر وأبو طالب عمه مات كافرا
Artinya "Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. tidak meninggal dalam kekufuran sedangkan paman beliau meninggal dalam keadaan kafir."
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar menuturkan dalam kaitabnya Al fatawa, mengutib dari kitab Saddaduddin: "Apa yang dikutib dari Abu Hanifah, beliau berkata dalam kitabnya al fiqhul akbar, bahwasannya kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan kafir itu tidak benar. Karena naskah yang dapat dipercaya dalam kitab tersebut, tidak disebutkan hal seperti itu. Yang benar naskah tersebut, adalah karangan Abu Hanifah Muhammad bin Yusuf Al-Bukhari bukan Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit Al-Kufi. Kami sebutkan hal itu agar supaya, orang yang berfikir tentang kutibannya selalu berfikir dan berhati-hati dalam menulis. Wallahu A'lam.
Jika anda bertanya; "Bukankah yang mengatakan selamatnya orang tua nabi hanya Syiah Rofidloh seperti ucapan Abi Hayyan??".
Jawabannya : Ibnu Hajar mengatakan bahwa banyak kerancauan pada pendapat Abi Hayyan yang mengatakan;"Sesungguhnya hanya penganut Syiah Rafidlah yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad Saw termasuk orang-orang mukmin yang tidak disiksa. Dengan berargumen menggunakan firman Allah ta'ala: "dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud." (QS Asy-Syuara' [26]: 219)."
Kita menolak pendapat ini Dengan Dua alasan. Pertama sebab Abi Hayyan merupakan Pakar Gramatika Nahwu Shorrof saja. sementara untuk masalah akidah dan usul, dia tidak memiliki kapasitas di dalamnya.
Kedua disini terjadi kontradiksi dengan realita yang ada Karena Ulama madzhab Asy'ari, juga mengatakan bahwa mereka Para Ahli Fatrah termasuk orang mukmin. Penisbatan yang dilakukan Abi Hayyan hanya kepada syiah Rafidlah sedangkan disana sebegitu banyaknya para Imam Ahlus Sunnah yang mengatakan seperti itu merupakan sikap yang sangat mengentengkan dan menyepelekan."
Sudah banyak kisah mukjizat nabi yang diberikan kepada beliau seperti mengembalikan matahari saat beliau akan tertinggal sholat asar, begitu juga membelah bulan yang satu bagian di atas jabal Abi Qubais dan yang separuhnya di jabal Qoiqo'an. Segala sesuatu yang dikehandaki nabi akan dituruti oleh Alloh s.w.t termasuk juga permohonan untuk menghidupkan ayah ibunya.
Imam Suyuti mempunyai sepuluh karya kitab yang menekankan kewajiban menjaga Etika kepada Rasulullah & bagi orang yang menyakiti beliau, maka ia telah menyakiti Allah ta'ala. Dan satu kitab khusus membahasa secara eksplisit mengenai kedua orang tua nabi diberi nama abaway rosul.
Suatu ketika seorang qodli bernama AlFaqih AlMuhaddits Ibnul Araby AlMaliki pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata, bahwa kedua orang tua Rasulullah Saw. telah masuk Neraka. beliau menjawab: Dia telah dilaknat, karena Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَة
"Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat di dunia dan di akhirat, dan menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka." (QS Al-Ahzab [33]: 57).
Dan tiada yang lebih menyayat hati dari pada dari ucapan yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah Saw. masuk Neraka. As-Suhaili telah meriwayatkan hadits Ibnu Mas'ud ra. Ketika itu, ia (Ibnu Mas'ud) bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kedua orang tuanya. Beliau menjawab: "Aku senantiasa meminta kepada Tuhanku, Dia telah mengabulkan permintaanku. Akulah yang nantinya akan menolong mereka (kedua orang tuaku) menuju tempat yang terpuji (Surga)." Hadits ini memberikan isyarat, bahwa Rasulullah Saw. akan memberi syafa'at kepada kedua orang tuanya di tempat tersebut, agar supaya kedua orang tuanya mendapatkan taufik berupa keta'atan ketika adanya cobaan besar yang terjadi di hari kiamat nanti. Seperti yang diterangkan dalam beberapa hadits pula.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya berkata:"Secara akal dan syara', tidak ada yang mustahil dan ketidak mungkinan tentang menghidupkan kedua orang tua Rasulullah lalu mewafatkan kembali. Karena hal seperti itu, juga diterangkan dalam Al-Qur'an Al-Karim tentang menghidupkan orang yang dibunuh dari Bani Israil, hingga dia memberi kabar tentang siapa pembunuhnya.
Al habib Umar bin Sumaith berkata dalam kitab Hidayatul Ikhwan: banyak orang berpendapat dari kalangan ahli hadits bahwa nabi menghidupkan dan mengislamkan orang tuanya dengan dalil hadits aisyah yaitu Dari Sayidah Aisyah ra.:"Rasulullah Saw. turun dari bukit Al-Hajun (bukit di Makkah, berupa pemakaman) dalam keadaan sangat duka cita dan bersedih. Lalu, mendaki kembali dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Setelah itu, keluar dengan keadaan sangat senang dan gembira. Kemudian dia berkata: "Aku telah meminta kepada Tuhanku –Azza wa Jalla-, Lalu, Dia menghidupkan ibundaku untukku. Setelah ibundaku beriman kepadaku, Dia mengembalikan lagi."
Walaupun hadits ini dikatakan lemah menurut sebagian tapi menurut ahli haqiqat tidak. Ulama berkata dalam syairnya:
[] ناصر الحق: ايقنت ان ابى النبي وامه * احياهما الرب الكريم الباري
[ ناصر الحق: حتى له شهدا بصدق رسالة حقا وتلك كرامة المختار
[] ناصر الحق: هذا الحديث ومن يقول بضعفه * فهو الضعيف عن الحقيقة عاري
Jika anda protes dengan berkata "kalau anda katakana ahlil fatroh bukan ahli neraka lantas untuk apa orang tua nabi dihidupkan??
Jawabannya: faidahnya agar orang tua nabi mendapat keutamaan atas apa yang tidak didapatkan ahli fatroh karena Endingnya orang tua nabi harus berkumpul dengan muslimin agar selamat dari siksa. Begitu pula tingkatan derajat orang yang meyakini alloh dan islam seutuhnya lebih mulia daripada yang tidak sempat meyakini.
Al Imam Nashiruddin Addimsyiqi mengatakan dalam gubahan sya'ir nya:
Karena cinta Allah kepada Nabi dengan menambah keutamaan-Nya
Atas keutamaan (yang sudah diberikan) dan Dialah Maha Menyantuni
Lalu menghidupkan ibundanya begitu pula ayahandanya
Demi beriman kepadanya dari keutamaan dan kebaikan-Nya
Terimalah kabar itu, karena Allah Maha Kuasa atas segalanya
Meskipun hadits yang mengatakan itu dlo'if adanya. Dan Hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi derajat hasan:
(إنّ الله خلَق الخَلْقَ فجعلني من خيرِ فِرَقِهِمْ ثمّ تَخَيَّر القبائلَ فجعلني من خير قبيلةٍ، ثمّ تخيّر البيوتَ وجعلني في خير بيوتهم، فأنا خيرُهم نفسًا –أي روحا وذاتا- وخيرهم بيتا –أي أصلا-)
"Sungguh, Allah telah menciptakan makhluk lalu menjadikanku dari sebaik-baiknya golongan dari mereka. Kemudian memilih dari beberapa kabilah dan menjadikanku dari sebaik-baiknya kabilah. Kemudian memilih dari beberapa rumah dan menjadikanku dari sebaik-baiknya rumah. Akulah sebaik-baiknya diri (ruh dan dzat) dari mereka dan sebaik-baiknya rumah (garis keturunan)."
Jika anda kembali protes dengan berkata: "Mengapa anda bersikukuh bahwa kedua orang tua nabi tidak disebut Kafir???
Jawabannya : Karena, orang kafir tidak berhak dikatakan 'orang pilihan', 'orang mulia, 'orang suci'. Bahkan alquran menyebutnya Najis. Seperti dalam ayat:"Sesungguhnya orang-orang musyrik terhukumi najis."
Sedangkan Doktrin hadist secara eksplisit menjelaskan bahwa semua orang tua Rasulullah adalah terpilih, mulia, suci. Dan juga, Dan juga Allah Swt. berfirman:"dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud." (QS Asy-Syuara' [26]: 219).
Jika anda protes dengan bertanya; "Bukankah Imam Nawawi berkata bahwa Ahli fatroh menjalani rutinitas sesuai adat arab yang percaya berhala masuk neraka???
Jawabannya : "Mengenai perkataan Imam Nawawi dalam mengomentari hadits Muslim: "Orang yang meninggal dalam masa fatroh dengan menjalani rutinitas sesuai adat Arab yaitu menyembah berhala, dia akan masuk Neraka yang dimaksud adalah karena mereka menyembah berhala sedangkan sebelumnya sudah ada dakwah ismail dan nabi ibrohim. Dan mengetahui bahwa itu (ajaran ibrohim) ajaran yang benar. Dan bisa saja ucapan imam Nawawi tersebut ditakwil (tafsir) dengan membawakan ucapan itu bagi orang-orang yang menyembah berhala yang sudah diriwayatkan dalam hadits-hadits bahwa mereka akan masuk Neraka.
Berhati hatilah dalam menyebutkan kekurangan kedua orang tua Rasulullah Saw. tentusaja itu akan menyakiti beliau. Karena menyakiti beliau, akibatnya akan fatal dengan adanya hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari: "Janganlah kalian semua menyakiti orang-orang hidup dengan memaki orang-orang yang sudah meninggal." Orang tua nabi bukan orang sembarangan, ayahnya Abdulloh Bin Abdul Mutholib lelaki tampan yang jauh dari pergaulan jahiliyah, beliau juga saat bayi tidak jadi disembelih dan diganti dengan fidyah 100 ekor unta. hal ini senada dengan syair pujian atas Ayahanda Nabi yang dilantunkan ibundanya menjelang wafat dan pengakuan ibundanya atas kenabiannya. Sambil menangis Aminah berkata:
بارك الله فيك من غلام * يابن الذي من حومة الحمام
نجا بعون الملك المنعام * فودي غدات الضرب بالسهام
بمائة من ابل سوام * ان صح ما ابصرت في المنام
فأنت مبعوث الى الانام * من عند ذي الجلال والاكرام
تبعث في الحل وفي الحرام * تبعث بالتحقيق والاسلام
دين ابيك البر ابراهاما * فالله انهاك عن الاصنام
Sementara ibundanya sendiri merupakan wanita cantik, suci yang jauh dari pergaulan jahiliyah. bahkan disaat wafatnya segenap Jin menangis dan melantunkan syair:
تبكي الفتات البرة الامينة * ذات الجمال العفة الرزينة
زوجة عبد الله والفرينة * أم نبي الله ذي السكينة
وصاحب المنبر في الندينة * صارت لدى حفرتها رهينة
Kesimpulannya bahwa Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah bersepakat bahwa orang tua nabi termasuk Ahli surga atas dua kemungkinan yaitu keimanannya setelah di bangkitkan atau karena mereka berada pada masa Fatroh. Sementara yang bersikukuh mengatakan bahwa orang tua Nabi kafir adalah muktazilah dan pengikutnya.
Kita harus mengindari agar tidak mengingkari kejadian ini. Sebab jika kita mengingkari maka kita bertentangan dengan Al-Qur'an dan Ijma', selain itu kejadian bangkitnya orang tua nabi ini sangat mungkin terjadi secara akal dan syara' atas dasar kemulyaan dan kehususan yang tidak tertolak oleh Al-Qur'an dan Ijma'. Adapun perkataan yang mengatakan bahwa tidak berguna iman setelah wafat dikecualikan bagi yang mendapat kehususan dan kemulyaan..
Tarim 04-02-2016
Oleh: Moh Nasirul Haq, Santri Rubat Syafi'i Yaman
Sumber:
http://www.muslimedianews.com/2016/02/benarkah-orang-tua-nabi-di-neraka.html
Wednesday, 2 December 2015
Tidak Boleh Fatwa Memakai al-Qur an Dan al- Hadits Tanpa Dasar Kitab Kuning

MusliModerat.Co m- Akhir zaman ini banyak Orang-orang yang belum Mumpuni ilmu Agama Islam sudah berani Menghukumi suatu masalah berdasarkan pemikiran mereka sendiri yang mereka dapatkan dari terjemahan satu-dua Hadits Nabi tanpa memandang Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Oleh para Ulama terdahulu.
Padahal keilmuan Orang-orang pada Zaman Akhir(kurun setelah Imam Empat Madzhab) sangat jauh dibanding para ulama terdahulu, orang-orang sekarang banyak yang tidak fair dalam menggunakan hadits, semangat dalam berfatwa hanya dengan beberapa hadits tapi mengabaikan Hadits-hadits lain yang jauh lebih harus dipertimbangkan, Hafal satu dua Hadits saja sudah Berikrar Menjadi Ustadz dan berani meng bid’ah-bid’ahkan suatu golongan Mayoritas, padahal Kalau kita lihat sejarah Para Ulama Salaf, mereka Hafal ratusan ribu Hadits akan tetapi mereka tetap bermadzhab dan menhukumi masalah berdasarkan ijtihad Imam Madzhab.
Jauh-jauh Hari para Ulama sudah memperingatkan kepada Umat untuk Berhati-hati dalam menyampaikan agama Islam, salah satunya yang disampaikan dalam Kitab Bughyatul Musytarsyidin Berikut Ini:
ـ (مسألة: ك): شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى؟ فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة، وكيف أخذ هو ما يخالفها؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي: الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين: أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي: مستقل، وهذا الإمام السيوطي مع سعة اطلاعه وباعه في العلوم وتفننه بما لم يسبق إليه ادعى الاجتهاد النسبي لا الاستقلالي، فلم يسلم له وقد نافت مؤلفاته على الخمسمائة، وأما حمل الناس على مذهبه فغير جائز، وإن فرض أنه مجتهد مستقل ككل مجتهد ـ اهـ بغية المسترشدين ص ٦ المرجع الأكبر
‘’Ada orang orang yang pandai dan cerdas, banyak mempelajari kitab kitab karangan ulama salaf, baik itu tafsir, hadits, maupun ilmu fiqih, kemudian menghukumi suatu masalah dengan pendapatnya sendiri, maka orang yang seperti ini adalah orang yang sesat dan menyesatkan yang justru menjauhkan dari pokok agama yang benar dan jalan Pemimpin para Rasul yaitu Nabi Muhammad Saw.
Mereka menolak kitab kitab ulama salaf yang yang notabene adalah ahli ilmu, mereka menyuarakan tentang tidak wajibnya bermadzhab dan mengarahkan kepada pemahaman agama dari hasil ijtihadnya sendiri, mereka mengaku beristinbath(menggali Hukum) langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman sendiri, sedang mereka tidak memenuhi kriteria syarat syarat berijtihad yang sudah masyhur bagi ahli ilmu, mereka mewajibkan masyarakat untuk mengikuti hasil ijtihad mereka
Maka untuk orang orang yang seperti diatas (yang mengaku ngaku berijtihad langsung / menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah) wajib atas mereka bertaubat dan kembali kepada jalan kebenaran (sesuai pemahaman mayoritas ulama salaf) dan masyarakat wajb menolak ajakan mereka yang bathil.
Apabila kitab-kitab karangan para ulama salaf dikesampingkan (tidak dipakai), maka dengan apa seseorang memahami agama ini yang selanjutnya dipakai untuk pedoman hidup ?
Padahal dia tidak bertemu langsung dengan Nabiyyuna Muhaamad SAW, juga tidak bertemu dengan para Sahabat Nabi ,
Bila kebetulan dia mempunyai sesuatu kitab karangan ulama salaf lalu dia mempelajarinya sendiri, lalu dalam proses memahami kitab tersebut dia salah pemahaman , maka kepada siapa dia akan minta petunjuk untuk membenarkan pemahamannya ? Silakan jelaskan kepada kami !
Sesungguhnya kitab kitab karya para Imam Agung empat Madzhab dan para ulama yang taqlid (mengikuti) kepada mereka, Sumbernya adalah Al-Qur'an dan Sunnah,
Bagaimana proses ijtihadnya sehingga menyelisihi pendapat pendapat mereka ?
Kenapa mereka mereka yang saat ini mengaku berijtihad langsung dan kembali kepada Al-Qur'an da Sunnah menghasilkan pendapat dan pemikiran yang sangat jauh dari para Imam Madzhab yang empat diatas ?
Berkata Al-Imam Asy-Syaikhoni dan pendahulu mereka Al-Imam Al-Fakhrur Rozi : Orang-orang zaman sekarang ini ibarat perkumpulan banyak orang hanya saja tidak ada mujtahid di dalamnya.
Syaikh Ibnu Hajar menuqil fatwa dari sebagian para Ahli Ushuluddin: Sesungguhnya setelah kurun masa Imam Syafi'i tidak ditemukan lagi seorangpun yang mencapai derajat mujtahid mustaqil (Mujtahid yang menggali langsung Al-Qur'an da Sunnah).
Contoh terdekat , Imam As-Suyuthi yang dikenal luas ilmunya dan mengusai berbagai fan ilmu, beliau berijtihad dengan nisbi (mengikuti pendapat dari Imam Syafi'i), bukan seorang mujtahid mustaqil, kenapa beliau tidak berani ? padahal kitab kitab karangan beliau sangat banyak , tidak kurang dari 500 (lima ratus) kitab .
Sesunguhnya orang orang yang menggali hukum sendiri seperti layaknya seorang mujtahid mustaqil dan menganggap hasil ijtihad mereka benar , hal itu tidak diperbolehkan, walaupun mereka memastikan bahwa mereka adalah seorang mujtahid mustaqil, seperti layaknya mujtahid zaman dahulu’’.
Sumber:
http://www.muslimoderat.com/2015/11/larangan-keras-berfatwa-langsung-dari.html
Monday, 7 September 2015
[Fiqh] HUKUM MENJADI PNS DENGAN SUAP DAN STATUS GAJINYA

( Hasil Bahtsul Masail NU Jawa Timur 2004 Di Ponpes Darussalam Blokagung Banyuwangi )
Deskripsi Masalah :
Dibeberapa daerah ada penerimaan calon PNS yang dilaksnakan dengan cara tes tulis dan tes lesan, akan tetapi apabila ingin diterima harus membayar 45 sampai 60juta rupiah bagi mereka yung berijazah SLTA, dan 75 sampai 90 juta rupiah bagi mereka yang berijazah S1. Lebih parah lagi melibatkan sebagian anggota DPRD yang ada didaerah tersebut dan semua itu sudah menjadi rahasia umum didaerah itu.
Pertanyaan :
a. Apa hukum memberi dan menerima uang tersebut, tidak termasuk risywah ?
b. Bagaimana hukum hasil gaji pegawai negeri yang pada saat penerimaan ia memberikan sejumlah uang (menyogok) ?
Jawaban :
a.Jika yang memberi itu orang yang berhak untuk menjadi PNS atau tidak menyakiti / merugikan sesama muslim yang juga berhak, maka memberi itu boleh, sedang yang menerima hukumnya haram. Namun jika umtuk semata-mata agar diterima hajatnya, padahal dia bukan ahlinya maka dikatagorikan risywah sehingga yang memberi maupun yang menerima hukumnya haram.
b. Hasil pegawai negeri sipil (PNS) kalau memang dia bekerja sesuai dengan yang ditentukan dan dia memang bisa melaksanakan, maka hukumnya boleh dan halal, namun apabila dia (PNS) bekerja tidak sesuai tugasnya, maka gaji yang diterimanya hukumnya tidak boleh/haram. Jadi tentang hukum suap dan gaji tidak terkait (berdiri sendiri).
Referensi :
1. Nihayatuz Zain, Hal : 370
وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطاؤها كذلك لأنه إعانة على معصية أما لو رشي ليحكم بالحق جاز الدفع وإن كان يحرم على القاضي الأخذ على الحكم مطلقا أي سواء أعطي من بيت المال أم لا ويجوز للقاضي أخذ الأجرة على الحكم لأنه شغله عن القيام بحقه
2. Raudlah al Thalibin, Juz : 11 Hal : 144
فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقا والهدية جائزة في بعض فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما والفرق من وجهين أحدهما ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق والهدية هي العطية المطلقة والثاني قال الغزالي في الإحياء المال إما يبذل لغرض آجل فهو قربة وصدقة وإما لعاجل وهو إما مال فهو هبة بشرط ثواب أو لتوقع ثواب وإما عمل فإن كان عملا محرما أو واجبا متعينا فهو رشوة وإن كان مباحا فإجارة أو جعالة وإما للتقرب والتودد إلى المبذول له فإن كان بمجرد نفسه فهدية وإن كان ليتوسل بجاهه إلى أغراض ومقاصد فإن كان جاهه بالعلم أو النسب فهو هدية وإن كان بالقضاء والعمل فهو رشوة
3. Is’adur Rofiq, Juz : 2 Hal : 100
(و)منها(أخذ الرشوة)ولوبحق (واعطاؤها)بباطل, ومثلهما السعىفيهما بين الراشىوالمرتشىقال تعالى – ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها الىالحكام – الأية. قال المفسرون : ليس المراد الأكل خاصة , ولكن لما كان هو المقصود الأعظم من الأموال خصه والمراد من الادلاء فى الآية الاسراع بالخصوصة فىالأموال , وقد لعن رسول الله صلىالله عليه وسلم الراشىوالمرتشىوالرائش -الى ان قال- فمن اعطى قاضيا أوحاكما رشوة أو أهدى اليه هدية فان كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل مالا يستحقه أو لأذية مسلم فسق الراشى والمهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى اليه بالاخذ والرائش بالسعى , وان لم يقع حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطى لاضطراره للتوصل لحق بأى طريق كانقضاءه إنما نفذ للضرورة ولا كذلك المال اه بجيرمي
4. I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 95
وعبارة المغنى مع الأصل فإن باع من حرم عليه البيع صح بيعه وكذا سائر عقوده لأن النهي لمعنى خارج عن العقد أي وهو التشاغل عن صلاتها فلم يمنع الصحة كالصلاة في الدار المغصوبة اه
5. Nihayatul Muhtaj, Juz : 5 Hal : 291
وماجرت به العادة من جاكمية على ذلك فليس من باب الإجارة وانما هومن باب الارزاق والإحسان والمسامحة بخلاف الإجارة فانهامن باب المعاوضة
6. Al Munjid, Hal : 102
الجاكمية ج جاكميات والجومك ج جوامك : مرتب خدام الدولة من العسكرية والمملكية
7. Hamisy I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 214
قوله فإن ولى سلطان أي مطلقا ذا شوكة كان أم لا بأن حبس أو أسر ولم يخلع فإن أحكامه تنفذ قوله ولو كافرا لم يذكر هذه الغاية في التحفة ولا في النهاية ولا غيرهما وهي مشكلة إذ السلطان يشترط فيه أن يكون مسلما وأما الكافر فلا تصح سلطنته إمامته ولو تغلب ولو أخرها عن قوله أو ذو شوكة وجعلها غاية له لأنه ممكن أن يكون كافرا أو عن أهل وجعلها غاية له وتكون بالنسبة للثاني للرد على الأذرعي القائل بعدم نفوذ تولية الكافر القضاء لكان أولىتأمل قوله أو ذو شوكة غيره السلطان قوله في بلد متعلق بمحذوف حال أي حال كون ذي الشوكة في بلد أي ناحية وقوله بأن انحصرت قوتها أي البلدة فيه أي ذي الشوكة والباء لتصوير كونه له شوكة في بلده وعبارة التحفة والنهاية بأن يكون بناحية انقطع غوث السلطان عنها ولم يرجعوا إلا إليه اه أهل مفعول ولىقوله كمقلد الخ تمثيل لغير الأهل قوله أي مع علمه أي المولي بكسر اللام سلطانا أو ذا شوكة وقوله بنحو فسقه أي المولى بفتح اللام قوله وإلا الخ أي وإن لم يعلم به وقوله ولو علم فسقه لم يوله الواو للحال أي والحال أنه لو كان يعلم بفسقه لم يوله وقوله فالظاهر الخ جواب إن الشرطية المدغمة في لا النافية وقوله كما جزم به شيخنا أي في فتح الجواد قوله وكذا لو زاد الخ أي وكذا لا ينفذ حكمه لو زاد فسقه بأن كان يشرب الخمر في الجمعة مرة فصار يشرب على خلاف العادة قوله أو ارتكب مفسقا آخر أي بأن كان يزني فصار يزني ويشرب الخمر قوله على تردد فيه أي فيما بعد كذا ممن زاد فسقه أو ارتكب مفسقا آخر قوله وجزم بعضهم بنفوذ توليته أي الفاسق مطلقاوقوله وإن عالم بفسقه هذا هو الفارق بين ما جزم به بعضهم وبين ما ذكره قبل قوله وكعبد الخ معطوف على قوله كمقلد قوله نفذ ما فعله أي المولى سلطانا أو ذا شوكة قوله من التولية بيان لماقوله وإن كان الخ غاية في نفوذ التولية أي تنفذ التولية وإن كان هناك أي في الناحية المولى الأهل مجتهد عدل قوله على المعتمد متعلق بنفذ قوله فينفذ قضاء مفرع على نفوذ التولية قوله للضرورة قال البلقيني يستفاد من ذلك أنه لو زالت شوكة من ولاه بموت أو نحوه انعزل لزوال الضرورة وأنه لو أخذ شيئا من بيت المال على ولاية القضاء أو جوامك في نظر الأوقاف استرد منه
(Pustaka Ilmu Sunniyyah Salafiyyah)
Saturday, 26 July 2014
Hukum Sholat (Jama'ah) Berduaan Dengan Perempuan Bukan Mahrom
Pada dasarnya sholat wajib yang dilakukan berjama'ah adalah sunnah muakkad (Imam Syafi'i).
Permasalahan, bilamana sholat jama'ah dilakukan berdua antara laki-laki dan wanita yang bukan mahrom maka menurut mayoritas Penganut Madzhab Syafi'i hukumnya haram. Sedangkan menurut Imam Nawawi hukumnya Makruh tahkrim.
Dalam kitab muhadzab Imam Saerozy berkata :
قَالَ الْمُصَنِّفُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - : ( وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ; لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : { لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ } ) .
Makruh (tahrim) seorang laki-laki shalat mengimami seorang wanita yang bukan mahram. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.”
Penjelasan dalam kitab majmu' Imam Nawawi:
( الشَّرْحُ )
الْمُرَادُ بِالْكَرَاهَةِ كَرَاهَةُ تَحْرِيمِ ، هَذَا إذَا خَلَا بِهَا .
قَالَ أَصْحَابُنَا : إذَا أَمَّ الرَّجُلُ بِامْرَأَتِهِ أَوْ مَحْرَمٍ لَهُ ، وَخَلَا بِهَا جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ ; لِأَنَّهُ يُبَاحُ لَهُ الْخَلْوَةُ بِهَا فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ ، وَإِنْ أَمَّ بِأَجْنَبِيَّةٍ وَخَلَا بِهَا حَرُمَ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا ، لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
Yang dimaksud makruh dari keterangan beliau adalah makruh tahrim , Ini jika lelaki itu berduaan dengan seorang perempuan yang bukan mahrom.
Ashab(Golongan) mayoritas penganut Imam Syafii mengatakan, apabila seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan berduaan dengannya, hukumnya boleh dan tidak makruh. Karena boleh berduaan dengan istri atau mahram di luar shalat.
Namun jika dia mengimami wanita yang bukan mahram dan berduaan dengannya, hukumnya haram bagi lelaki itu dan haram pula bagi si wanita. Wallohu a'lam.