Melestarikan Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dan Tradisi keNUan Berdasarkan Al-Qur an, Al-Hadits, Ijma' Dan Qiyas
Tuesday, 29 March 2016
Kisah Guru Asal Kairo Dapat Berkah Mengajar di Pesantren
Alkisah, ada seorang guru yang bernama Sayyid Ismail Fahmi Albadr, seorang dosen dan pengajar bantu di Pesantren Al-Asy'ariyyah Kalibeber dan Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jawa Tengah di Wonosobo (sekarang UNSIQ). Dia merupakan tenaga pengajar dari Universitas Al-Azhar Kairo yang selama dua tahun sekitar 1991-1992 menjadi tenaga pengajar bantu di kampus dan pesantren tersebut.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Elis Suyono dan Samsul Munir Amin dalam buku biografinya KH Muntaha Alhafidz, Ustadz Fahmi (begitu ia kerap dipanggil) bercerita, suatu ketika dia diberi beras 10 kilogram dan gula satu kilogram oleh almaghfurlah KH Muntaha Alhafidz, pengasuh Pesantren Al-Asy'ariah dan Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) waktu itu. Beras dan gula tersebut dibawa dan diberikan sendiri oleh Mbah Muntaha ke rumah Ustadz Fahmi yang letaknya tidak jauh dari kantor pondok.
Oleh istrinya, beras dan gula pemberian Mbah Muntaha itu digunakan sebagaimana kebutuhan biasanya. Beras itu dipakai untuk konsumsi keseharian keluarga Ustadz Fahmi yang jumlahnya lima orang beserta istri dan anak-anaknya. Begitu pula gula yang satu kilogram digunakan seperti biasanya untuk minim teh, susu, kopi dan kebutuhan lainnya. Tapi berbeda dengan biasanya, meski beras dan gula tersebut sudah dipakai dalam satu bulan, beras dan gula pemberian Mbah Mun itu belum habis juga.
Geganjilan tersebut membuat Ustadz Fahmi pada suatu waktu bertanya kepada istrinya, "Apakah beras dan gula itu tak pernah digunakan sehingga selama satu bulan itu keluarganya tidak pernah membeli beras dan gula?” tanya Ustad Fahmi.
Namun di luar dugaan, istrinya menjawab, bahwa beras dan gula itu tetap digunakannya sebagaimana kebutuhan kesehariannya. Ustadz Fahmi tentu saja heran, soalnya biasanya keluarga yang semuanya berjumlah lima orang itu bisa menghabiskan beras sekitar 30 kg dan 3 kg gula untuk kebutuhan konsumsi selama satu bulan. Tatapi kelaziman tersebut tidak berlaku pada kasus satu bulan itu.
Karena merasa penasaran dengan keganjilan di atas, maka pada suatu kesempatan Ustadz Fahmi menanyakan langsung hal itu kepada Mbah Muntaha, mengapa beras dan gula pemberian beliau tidak habis-habis kendati tetap digunakan.
"Hadza min barokatil Qur'an," jawab Mbah Muntaha. (M Haromain)
Disarikan dari Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha Alhafidz: Ulama Multidimensi, diterbitkan: UNSIQ Wonosobo dan Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber.
(NU Online)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment