Para waliyullah itu takut kalau jidatnya hitam, takut itu menjadikan riya’. Adapun sahabat itu wajahnya bercahaya sangat berkilauan, dan ketika bangkit dari alam kubur wajahnya terang seperti bulan purnama.
Itu semua diawali dari wudhu para sahabat yang mencapai ke hati. Wudhu bukan hanya melaksanakan syarat dan rukun wudhu. Kalau cahaya wudhu sampai hati, maka timbul sifat tawadhu’ (rendah hati), dan tubuh tidak mau digunakan untuk maksiat. Jangankan digunakan maksiat, semisal kita melihat keburukan, mata ini tidak betah, pengennya pergi atau memejamkan mata.
Tidak mau membuka aib atau melihat aib saudara sesama muslim dan sesama anak bangsa. Kalau melihat perempuan membuka auratnya, tidak mau melihatnya, karena menganggap itu aib saudaranya. Begitu juga dalam kehidupan berbangsa. Kalau kita menutupi aib saudara kita sebangsa, atau pejabat kita, atau Negara kita, maka bangsa lain pun tidak berani memojokkan bangsa kita. Bangsa lain memojokkan bangsa kita, tidak menghormati bangsa kita karena kita sendiri yang membuka aib bangsa kita.
Selain itu, contoh lain dari min atsaril wudhu’ adalah tutur kata kita bagus dan sopan. Orang jadi berwibawa karena tutur kata yang sopan. Salamatul insan fii hifzhillisan, selamatnya seseorang karena menjaga lisannya dari tutur kata yang tidak baik. Apa yang kita, orang dewasa, ucapkan itu akan ditiru juga oleh anak-anak. Jadi, yang tua harus memberi contoh yang baik pada yang muda, pada anak-anak.
Janganlah kita membuka aib seseorang di atas podium, walaupun kita tidak cocok terhadap seseorang. Allah ta’ala saja dalam al Quran memakai ada ketika mengingatkan, yaitu dengan kalimat yaa-ayyuhal ladziina aamanuu, yaa ayyuhan naas, tidak menyebut nama langsung, tapi wahai orang-orang beriman, wahai manusia, bukan wahai fulan bin fulan.
Kalau lisan kita terbiasa berdzikir maka buahnya adalah tutur kata yang baik. Berdzikir itu dilakukan karena kita perlu dan butuh pada Allah, dan juga kan mencari pahala itu tidak hanya dalam shalat.
Selain itu, berdzikir itu untuk melatih dan membimbing lisan dan hati agar terbiasa ingat Allah. Oleh karena tidak ada yang melebihi sakitnya sakaratul maut, maka lisan dan hati harus dilatih dengan dzikir, apalagi dalam thariqah. Apa yang menjadi kebiasaan lisan kita itu yang akan muncul secara reflex saat sakaratul maut.
Semisal, kalau lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah, kemudian kita berjalan tanpa sengaja terpeleset atau tersandung, maka biasanya reflex mengucapkan alhamdulillah. Tapi kalau yang biasa dilatih dan diucapkan kata kotor atau nama hewan, maka saat terpeleset atau tersandung batu ya kalimat nama hewan itu yang keluar dari lisannya.
Badan kita atau baju kita, tiga hari saja tidak dicuci maka baunya bikin orang lain tidak nyaman, bahkan kita sendiri pun tidak nyaman. Kalau badan kotor kita mudah membersihkannya, tinggal mandi. Tapi kalau hati kita yang kotor? Dalam sehari, berapa kali kita mencuci hati kita?
Allah ta’ala berfirman, alaa bidzikrillah tathma-innul quluub. Itulah cara kita mencuci hati kita yaitu dengan berdzikir. Karena penyakit hati itu harus dibersihkan agar jauh dari sifat tercela seperti ujub, sombong, riya’, hasud (iri hati), dan lain-lain.
Adapun membersihkan hati itu dengan kalimat dzikir laa ilaaha illAllah. Kalau dalam membaca laa ilaaha illAllah ditata dengan baik dan diresapi dalam hati, maka kalimat laa ilaaha illAllah bisa membersihkan hati kita, sehingga hati penuh dengan laa ilaaha illAllah.
Kita ini dalam masuk thariqah jangan kayak anak SD yang suka pamer fadhail (keutamaan).
Anak-anak kan kalau hari lebaran biasa pakai baju baru, biasanya itu saling pamer bagus-bagusan baju baru. kata si A, bagusan bajuku gambarnya pesawat, si B nggak mau kalah, si C juga nggak mau kalah. Semua rebutan bagus-bagusan baju baru lebaran.
Masuk thariqah itu untuk wushul kepada Allah, bukan untuk fadhail. Kalau kita masuk thariqah kayak anak SD, maka thariqah dan dzikir kita hanya menghiasi lisan. Padahal, kalau thariqah sudah menghiasi bathin kita, maka saya jamin dunia damai.
Seminggu sebelum wafat, Sayyidi Syekh Al Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At Tijani keliling silaturrahim ke Ulama, memohon doa kepada para Ulama agar Husnul Khatimah, padahal sekelas al Imam Ahmad at Tijani itu wali Quthub, tapi masih mau bersilaturrahim dan memohon doa ke Ulama lain. Itu bentuk betapa tawadhu’nya al Imam As Syaikh Ahmad at Tijani.
Jangan kita bikin malu Imam Thariqah kita dengan cara kita berakhlak yang baik, tawadhu’, cinta Rasulullah dan Ulama. Sehingga kompak, saling tawadhu, dan saling mengangkat. Orang Qadiriy memuji orang Tijani, orang Syathari mengangkat orang Naqsybandiy, dan seterusnya, jadi sesama ahli thariqah, meskipun berbeda thariqah tapi saling memuji dan saling mengangkat.
Ini harus saya sampaikan karena saya sebagai Rais ‘Aam Ahli Thariqah Mu’tabarah yang mana akan saya pertanggungjawabkan di dunia dan kelak di akhirat di hadapan Allah Ta’ala. Tunjukkan bahwa kita ini adalah bagian dari ahli Laa ilaaha illAllah. ( dutaislam.com )
Source:ceramah Maulana Habib Lutfhi bin Yahya Pekalongan, 15 Januri 2016
No comments:
Post a Comment