Oleh: KH Abdurrahman Wahid
NU sering dianggap sebagai organisasi kolot, yang timbul dari
pengamatan lahiriah atas gerakan itu. Dalam ungkapan Hadi Sabeno, NU
dapat disebut sebagai "kaum sarungan" karena memang itulah ciri para
pemimpin NU di masa lampau.Kini, mereka yang meninggalkan sarung dan
mengenakan celana panjang sudah begitu banyak-termasuk penulis
sendiri, hingga sebutan itu sudah tidak dapat dipakai lagi.
Kekolotan NU sekarang lebih tercermin dalam cara kerjanya, dari pada
penampilan lahiriahnya.
Dalam sebuah kesempatan, ada pembicaraan dengan seorang atase
pertahanan di Kedubes Australia pada pertengahan tahun 80-an.
Dalam percakapan itu, sang atase menyebutkan NU sebagai
organisasipsychic, karena dalam statua tahun 1926 ia dicantumkan untuk
berdiri 29 tahun. Kalau 25, 50, atau 75 tahun, itu masih "normal".
Nah, sang atase menjumlahkan angka 26 dan 29 itu, sampai pada angka
1955, tahun pertama kali ada pemilu di Indonesia: dan tahun itu, bila
ditambah angka 29 akan menjadi 1984, tahun NU menggantikan asas Islam
dengan asas Pancasila.
Kalau "jalan pikiran" ini diteruskan kita akan melihat sesuatu yang
aneh bagi NU dalam tahun 2013 nanti. Bukankah tahun itu adalah buah
penambahan angka 29 atas tahun 1984?
Tuhan jualah yang akan menentukan, bukannya manusia dengan
gugun-tuhon yang dipercayainya.
Untuk masyarakat Jawa yang senang dengan klenik,
penambahan-penambahan seperti itu tentu sangat menarik.
Dalam tahun 1935, muktamar NU di Banjarmasin dihadapkan pada sebuah
pertanyaan: wajibkah secara hukum Islam (fiqh) bagi kaum muslimin
untuk mempertahankan kerajaan Hindia-Belanda, yang waktu itu
diperintah oleh para penguasa non-muslimin?
Jawab Muktamar NU itu, wajib hukum agamanya mempertahankan kawasan
tersebut, karena kaum muslimin bebas menjalankan ajaran agama mereka,
dan di masa lampau ada kerajaan-kerajaan Islam di wilayah itu.
Ini adalah dasar dari perkembangan non-ideologis agama itu di kawasan ini.
Pada tanggal 28 Oktober 1945, Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) Nahdlatul
Ulama (PBNU) di Surabaya, mengeluarkan sebuah resolusi yang dikenal
sebutan resolusi Jihad.
Dalam resolusi itu, disebutkan bahwa mempertahankan Republik
Indonesia (RI) adalah kewajiban kaum muslimin berjihad di negeri ini.
Padahal, waktu itu, RI bukanlah negara Islam melainkan negara
Pancasila. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa mendirikan negara
Islam bukanlah sebuah kewajiban agama. Ini sesuai sepenuhnya dengan
kenyataan bahwa Islam tidak pernah memiliki konsep resmi tentang
bentuk negara, melainkan yang ada hanyalah kewajiban mendirikan negara
untuk menjamin kesejahteraan rakyat atau orang banyak.
Pada tahun 1984, NU mengokohkan penggunaan Islam tidak sebagai
ideologi negara melalui keputusan Muktamar di Situbondo, bahwa asas NU
adalah Pancasila.
Ini berarti perubahan pengertian asas yang semula berarti landasan
kemasyarakatan menjadi landasan kenegaraan.
Dengan keputusan itu, NU menegaskan sekali lagi, bahwa Islam bukanlah
sebuah ideologi negara, melainkan sebuah keyakinan masyarakat yang
harus mereka jalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Muktamar mengakui perubahan arti ini karena paham Ahlussunnah wal
Jama'ah selamanya mengutamakan kepentingan negara, yang saat itu
memahami asas sebagai sebuah keyakinan negara.
Jelas dari uraian di atas, bahwa NU memisahkan antara ideologi dan
keyakinan masyarakat. Di samping itu, NU juga memberikan tempat bagi
pandangan yang berbentuk macam-macam. Kedua hal itu merupakan inti
dari sebuah negara modern, dan cukup mengherankan bahwa NU yang kolot
itu dapat memahami hakikat persoalan ini. Hakikat pemisahan agama dari
negara memang menjadi pandangan NU semanjak pertama kali didirikan
pada tahun 1926.
Dengan ungkapan di atas, menjadi nyata bagi kita, bahwa NU menerima
perubahan-perubahan atau modernisasi, apabila tumbuh dari argumentasi
keagamaan yang kolot dan konservatif. hal inilah yang menjadi motto
NU: memelihara apa yang datang dari masa lampau asalkan baik, dan
mengambil yang lebih baik dari apa yang terjadi (al-mukhafadzatu 'ala
al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa modernisasi dalam
pandangan NU haruslah bertolak dari tradisionalisme, yang demikianlah
pandangan resmi NU. Kalau kita tidak memahami hal ini, berarti kita
memperkosa sejarah NU, dan menolak proses modernisasi yang berjalan
seiring dengan tradisionalisme. Jadi bukan seperti pendapat Daniel
Lerner yang menggunakan kalimat "memudarnya masyarakat tradisional"
(passing away of traditional society) sebagai judul buku laporan
penelitiannya.
Biarlah negeri-negeri lain melenyapkan tradisionalisme dan
menggantikannya dengan yang baru, dan melakukan modernisasi yang
sejalan dengan tradisonalisme itu. Bukankah dengan demikian kita akan
melakukan perubahan, tapi meletakannya pada sebuah proses yang damai
dan bertahap?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid,Kumpulan Kolom dan Artikel
Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, 2002 (Yogyakarta: LKiS).
(nu.or.id)
No comments:
Post a Comment