Thursday, 18 December 2014

[Profil] Mengenang Mbah Hamid Baidlowi


KH Abdul Hamid Baidlowi (Mbah Hamid Lasem)adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem.
Beliau lahir di Lasem 30 Desember 1945 dan wafat 15 Juni 2014 atau 17 Sya’ban 1435 H.
Beliau putra KH Baidlowi Lasem, salah seorang pendiri NU, Roisul Akbar Thariqah NU se Indonesia, pencetus gagasan status Presiden RI Ir H Soekarno sebagai
"Waliyyul Amri ad-Dhoruri bis Syaukah" pada saat Indonesia dalam keadaan genting krisis kepemimpinan nasional terancam berbagai pemberontakan di berbagai daerah.

Silsilah beliau menyambung sampai Ki Joyotirto selanjutnya sampai Mbah Sambu keturunan Pangeran Benawa putra Jaka Tingkir atau Sultan Pajang. Pendidikannya di masa muda di Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem, Tebuireng Jombang, Pesantren Sarang Kab. Rembang dan Makkah.


KH Musthofa Bisri Rais Am PBNU setelah menjadi imam shalat jenazah beliau di Masjid Jami’ Lasem menyatakan almarhum sebagai ulama yang sangat teguh memegang prinsip dan juga hatinya sangat lembut.
Demikian menurut Gus Mus yang pernah menjadi kakak iparnya.

Kiai Hamid kemudian menikah dengan Ning Jamilah alumni Pesantren Al-Hidayat Lasem di bawah pengasuh Nyai Nuriyyah Ma’shoem.
Putri dari Kiai Kholil Pengasuh PP Darul Ulum Burneo Bojonegoro yang di masa mudanya secara heroik dengan jadug membawa bom berupa kerikil dan ikut naik merobek bendera Belanda di Hotel Yamato dalam pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.


Nyai Hj Jamilah kini dikenal sebagai muballighah yang istiqamah mengisi pengajian di berbagai daerah.
Pernikahannya dengan KH A. Hamid dikaruniai beberapa putra-putri antara lain Gus Ahfas, alumni Makkah.
KH A. Hamid besanan dengan Pengasuh Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Mranggen Demak, dan almarhum Kiai Chudori Magelang.

Beliau seorang orator, kharismatik, unik dan politisi ulung. Ketokohannya sampai tingkat nasional diakui
oleh KH Maemun Zubair Sarang menilai adik iparnya itu Kepiawaiannya berbagi peran dan zig zag di banyak kaki sering membuat bingung lawan bahkan kadang kawannya sendiri.


Di masa mudanya sampai beberapa tahun lamanya memimpin PCNU Lasem. Setahun sebelum wafatnya beliau sempat tercatat sebagai Ketua Dewan Syuro atau penasehat nasional FPI (Front Pembela Islam).
Di kalangan NU, ormas Islam lainnya serta kalangan luas beliau sangat disegani karena kewibawaannya, keberaniannya, keteguhannya, kealimannya sebagai ahli hadits dan keturunannya.
Keihlasannya berjuang amar ma’ruf nahi munkar membuat dirinya rela berkorban, bersikap tegas menerima resiko meski tidak populer atau tidak disukai orang.

Di masa adanya NU tandingan pimpinan Abu Hasan, beliau Mbah Mik biasa dipanggil duduk di dalamnya sebagai pengurus penting.
Kedudukannya sebagai ulama sesuai sifat ulama menurut penulis berperan besar dalam rangka hidmah menjaga keseimbangan, check and balance, mengontrol dari dalam agar tandingan NU tersebut terkendali tidak bertindak melampaui batas, sehingga NU tetap selamat, kuat dan aman melewati gelombang bahtera pemerintahan refresif masa itu.


Ketika ada beberapa tokoh NU rame-rame membela Syiah mengamankan stempel status sosial dirinya sebagai tokoh toleran, Kiai Hamid secara tegas berpidato dimana-mana menolak ajaran Syiah sambil menulis makalah bahkan mengarang Kitab kelemahan Syiah secara syar’i.
Menurut penulis adanya tokoh besar yang keras menolak untuk menjaga keseimbangan, memberi petunjuk kepada ummat, membuat garis bahwa antara NU dan Syiah ajarannya berbeda, Agar keaslian/ kemurnian ajaran Islam yang diamalkan NU tetap terjaga, tidak disusupi/diinfiltrasi ajaran lain.Artinya kalau membela Syiah bukan berarti kebablasan atau salah kaprah mengakui atau menyatakan ajarannya benar.
Yang benar adalah ajaran NU, sesuai i’tiqad nahdliyyin.
Keponakannya, KH Najih Maimoen Zubair kerap diajak Mbah Mik mengikuti forum lintas ormas menghadapi tantangan dakwah terkini. Beliau sesungguhnya menerima toleransi perbedaan, namun tidak setuju istilah pluralisme karena ideologi asing dan liberal itu dinilai tidak sejalan dengan Islam dan Pancasila. Kata beliau, sambil mengoreksi, yang benar adalah pluralitas tanpa isme, seperti dituturkan kepada penulis semasa hidup.
Ketika Pesantren Azzaitun Indramayu membeli lahan cukup luas untuk membuka cabang di Kec.Sluke tidak jauh dari Lasem, Kiai Hamid dengan enteng dan lantang menentang keras kehadiran Az-Zaitun. Siapa pun segan dan tidak berani berhadapan dengan ulama besar tanpa kompromi itu dengan pergaulan cukup luas lintas ormas bahkan dunia Islam.
Di masa kepemimpinannya di PCNU Lasem, PP Al-Wahdah Lesem yang diasuhnya menjadi tuan rumah Kongres PP IPNU-IPPNU. Juga konsolidasi lahan dan pembangunan lembaga pendidikan di bawah LP Ma’arif terdiri dari dari MA NU, SMP NU dan SMK NU yang berdiri cukup megah, kemudian dilanjutkan pada periode PCNU di bawah KH.Rogib Mabrur dan KH M. Zaim Ahmad Ma’shoem semakin maju.
Jasanya terhadap umat Islam termasuk di dalamnya terhadap NU seperti disebutkan di atas. Atas jasanya juga telah berdiri megah Masjid Al-Khitthah, Tulis Lasem.
Secara tidak langsung di bawah pengaruh beliau selama bertahun-tahun stabilitas Kota Lasem dan sekitarnya kondusif, contohnya terbukti atas dasar penolakan warga setempat dan berbagai elemen ummat Islam akhirnya Bupati Rembang secara resmi menutup selamanya rencana pendirian megaproyek Stakong yang beralasan dibangun di tengah-tengah mayoritas mutlak komunitas muslim. Apalagi kondisi pembangunan lembaga Islam di sekitarnya masih berbenah.
KH Abdul Hamid Baidlowi tercatat sebagai Anggota DPA RI tahun 1998-2004. Kedudukan beliau sebagai penasehat presiden dalam kapasitas dirinya sebagai ulama sejak masa Kepresidenan Prof.Ir.B.J.Habibie, KH.Abdurrahman Wahid, Megawati sampai DR.H.Susilo Bambang Yudhoyono tentu masukan/ pertimbangan beliau tersebut bagi pembangunan Indonesia menorehkan tinta emas yang dicatat dalam berita acara lembaran negara.

Sumber : (nu online)


No comments:

Post a Comment