kakaktua warna
Syahdan di sebuah desa terpencil,tersebutlah seorang guru Thoriqoh yang mempunyai peliharaan burung kakaktua.
Setiap kali Beliau memimpin dzikir berjamaah dengan santri-santrinya di surau,si burung kakaktua selalu mengikuti. Dari dzikir sholawat sampai tahlil,si kakaktua fasih melafalkannya.
Suatu ketika di waktu sore,sang Mursyid mendapati si kakaktua sedang di terkam seekor kucing,"kuuaak..kuaaakk...kuaaak.." si kakaktua seakan-akan meminta pertolongan. Belum sempat beliau menolong,si kakaktua keburu mati. Sang mursyid memandang dengan sangat sedih,bahkan beliau menitikkan air mata atas kehilangan burung kesayangannya.
Berhari-hari beliau nampak murung,bahkan dalam taushiahnya kepada santri-santrinya,tak ada lagi canda-tawa beliau. Para santripun tak bisa berbuat banyak,selain diam membisu dan tak ada yang berani bertanya.
Dalam kebisuan tanpa sebab,muncullah ide santri senior. "Bagaimana kalau kita mengumpulkan uang untuk membeli burung kakaktua,sebagai ganti kakaktua Pak kyai yang mati?" Tanyanya kepada rekan-rekannya.
"Tapi kepunyaan pak kyai sudah pinter ngomong dzikir layaknya manusia,gimana kang?". Ujar santri yang lain. Si santri yang agak kurus dan terlihat pendiam akhirnya angkat bicara,"oke,gini aja..kita beli burung kakaktua,lalu kita latih. Setelah bisa,baru kita kasihkan pak kyai..setuju...??". Yang lainnya mengangguk tanda sepakat.
Setelah mengumpulkan uang dari seluruh santri,akhirnya si santri senior pergi ke pasar guna membeli burung kakaktua yang jenisnya sama dengan kepunyaan sang mursyid yang sudah mati. Setelah ia menemukan dan membeli,ia pun langsung tancap pulang ke pondokannya dan bersama-sama santri yang lain mengajari burung kakaktua dengan sabarnya.
setelah sebulan dirasa cukup,dan burung kakaktuapun mulai bisa menirukan kalimat tahlil dan dzikir yang lain,akhirnya santri senior beserta santri lainnya bergegas menemui pak kyainya.
"Pak kyai,jika berkenan sudilah kiranya kami (para santri) ingin mengganti burung kakaktua dulu yang mati." Sang mursyid berkata,"untuk apa kalian bawa burung kakaktua kemari?"
Santri senior pun menjawab, "Agar pak kyai tak lagi murung terus menerus memikirkan burung kakaktua yang mati,pak kayi..."
Sang mursyid akhirnya menjawab dengan bijak, "Terimakasih atas kepedulian kalian semua, namun mengertilah...bukan karena kehilangan kakaktua yang memang menjadi kesayanganku menjadikanku murung sampai saat ini."
"Lantas apa yang menyebabkan panjenengan murung tak seperti dulu lagi pak kyai?", Santri senior memberanikan diri bertanya. Sang mursyid tersenyum manis,lalu menjawab "Jika hanya karena burung,aku sanggup membelinya. Bahkan yang lebih bagus sekalipun."
"Kalian semua menyaksikan,bahwa burung kakaktua yang aku pelihara,dari kecil sudah pintar bedzikir layaknya manusia. Namun di kala ajal menjemput,ia hanya sempat berteriak kuak...kuak..kuak..
Akupun lantas menjadi sedih dan murung,apakah nanti di saat ajal menjelang,samakah aku dengan burung kakaktua yang pada akhirnya tak mampu mengucapakan kalimat toyyibah di akhir ajalku?"
Para santri akhirnya mengangguk tanda paham.
Dari Cerita fiktif diatas,hikmah apa yang bisa kita petik? Monggo,kita share di kotak koment di bawah ini...
Blog Ini Memakai Google Chrome Browser,Download Now !
No comments:
Post a Comment