Sunday, 30 November 2014

Oral Seks Dan Permasalahannya [9]


Artikel sebelumnya baca disini...


Wacana kelima:
oral seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan kemaluan sehingga patut diharamkan.
Jawaban:
Argumen tersebut adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil.
Sifatnya relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid memakannya.
Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya.
Alasan mulut sebagai tempat berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup dijadikan illat.
Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh farji.

Wacana keenam;
oral seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS, dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada hukum haram.
Jawaban:
Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.
Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok.
Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar.
Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.
Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan.


Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram.
Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami:
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)
Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewat lima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat.
Tahapan pertama, tahaqquq dharar.
Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq.
Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua.
Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga.
Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil.
Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat.
Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain.
Tahapan kelima, tarjih khabar dharar.
Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut.

Sumber:
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB (PISS-KTB)

No comments:

Post a Comment