Friday, 19 June 2020

Sejarah NU

A. Nahdlatul Ulama’ 
1. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama 
 Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah tokoh-tokoh yang ikut berperan diantaranya K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Wahab Hasbullah dan  para ulama pada masa itu pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, ulama belum begitu terorganisasi  namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan  para kiai, masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang kini tersebar luas diseluruh 
nusantara.    
 Berdirinya  Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita alQur’an dan Hadits)   seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa 
Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-bidang hukum-hulum 
Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’I. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim AlJunaidi.  Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar. Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq). Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan AL-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah waljama’ah.  
 Menurut Muhammad Abu Zahra, perbedaan pendapat dikalangan kaum muslim pada hakikatnya menampak dalam dua bentu, yaitu Praktis dan Teoritis. Perbedaan secara praktis terwujud dalam kelompok – kelompok seperti kelompok Ali bin Abi Tholib (Syi’ah), Khawarij dan kelompok Muawiyah. Bentuk kedua dari perbedaan pendapat dalam Islam bersifat ilmiah teoritis seperti yang terjadi dalam masalah ‘aqidah dan 
furu’ (fiqih). Ahlus Sunnah Waljama’ah sebagai salah satu aliran dalam 
Islam meskipun pada awal kelahirannya sangat kental dengan nuansa politiknya, namun, dalam perkembangannya diskursus yang 
dikembangkannya juga masuk pada bagian wilayahseperti Aqidah, Fiqih, Tasawuf dan Politik.  
 Dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah ini lahir dengan alasan yang mendasar, antara lain: Pertama; Kekuatan penjajah belanda untuk meruntuhkan potensi islam telah melahirkan rasa tanggung jawab alim ulama menjaga kemurnian dan keluhuran ajaran islam. Kedua; Rasa 
tanggung jawab alim ulama sebagai pemimpin umat untuk 
memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan dari belenggu penjajah. Ketiga; Rasa  tanggung jawab alim ulama menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia.  
 Tidak seluruh perjalanan sejarah bangsa indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan misalnya, ada tiga kelompok kekuatan yang berkembang secara bersamaan. Munculnya elit baru sebagai sekolah-sekolah belanda, dibarengi pula oleh dua kekuatan pergerakan yang bersumber islam, yaitu ”islam moderen” dan “islam tradisional”. Dalam fase ini moderenisasi islam yang tersalur dalam berbagai keagamaan mulai tersebar dan memperoleh sambutan yang cukup luas dihampir semua kota besar di 
Indonesia sampai di Desa-desa kecil di pelosok negri.  
 Sejak permulaan tahun 1910-an. Sebelum didirikan jam’iyah  Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Kyai H. Hasyim As’ari tidak melarang salah seorang muridnya yang paling cemerlang yaitu KH. Wahab Hasbullah untuk mengambil bagian dalam aktifitas-aktifitas sosial pendidikan dan keagamaan dari kelompok modernisasi Islam. 
Kelihatannya sampai meninggalnya pendiri Muhamadiyah, Kyai H. Ahmad Dahlan, dalam tahun 1923, pikiran-pikiran islam moderen dari gerakan Muhamadiyah belum meyentuh ideologi yang paling fundamental dari islam tradisional. Pada tingkat permulaan gerakan islam moderen tersebut, tekanan diletakkan pada pengaktifan sosial, ekonomi dan politik.  Mungkin itulah sebabnya gerakan tersebut belum di rasakan mengancam kedudukan pemimpin pemimpin islam tradisional.  Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun Kyai Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir islam tradisional dengan dukungan para Kyai dan Ulama dan beliau juga aktif di Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para saudagar muslim yang didirikan Surakarta tahun 1912, dan pada tahun 1916, Kyai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Watam yang berpusat di Surabaya yang pengasuhnya ialah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai H. Masmansur.   
 Pertambahan yang luar biasa dalam keanggotaan syarikat islam menjelang akhir tahun 1920an terutama disebabkan oleh peranan kyai yang memobilisasikan masa pada tingkat masyarakat luas dan ini tidak berarti bahwa pada tubuh syarikat islam belum ada perbedaan-perbedaan ideologi antara mereka yang cenderung untuk tetap mempertahankan Islam tradisional. Sesudah didirikannya gerakan Muhamadiyah tahun 1912 dan sepeninggalnya Kyai H. Ahmad Dahlan sering kali terjadi perdebatan antara Kyai-Kyai. Pemimpin pesantren dan para Ulama yang mendukung gerakan Muhamadiyah yang mengenai dalam berbagai aspek dalam praktek islam. Wadah perdebatan yang paling utama ialah organisasi 
Taswirul Afkar di Surabaya yang dipimpin langsung oleh Kyai H. Wahab Hasbullah, Kyai H. Mas mansur dan tokoh-tokoh lainnya seperti Kyai H. 
Hasyim Asy’ari, Kyai H. Bisri Syamsuri (keduanya dari jombang), Kyai Ridwan (Semarang), Kyai Nawawi (Pasuruan), dan Kyai Abdu Aziz (Surabaya). Dalam pertemuan itu diambil keputusan sebagai berikut:  
1. Mengirim dilegasi Kekongres dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Ibnu Saud agar hukum-hukum menurut Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya. 
2. Membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syari’at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.  
  Namun pada umumnya, kedua kelompok ini mendukung 
aktifitas Syarikat islam, karena organisasi ini tidak menyentuh soal-soal yang berhubungan dengan pembauran dalam konsep-konsep keagamaan.  Dikarenakan Syarikat islam lebih tertarik kepada aktifitas politik dan tujuan umumnya mempersatukan kelompok islam di Indonesia, lebih menekankan agar perbedaan pendapat yang menyangkut detail praktekpraktek keagamaan bisa dihindari. Dalam bulan februari tahun 1923, persatuan islam (yang terkenal dengan singkatan Persis) di dirikan di Bandung. Dan para anggotanya mulai mengumandangkan pandanganpandangan yang tidak kompromistis, yang ditunjukkan kepada pikiran keagamaan islam tradisional. Dan saat itu pula persatuan islam dapat merebut simpati sejumlah besar kaum intelektual islam. Buah pikiran Persis (persatuan islam) memberikan dampak kuat dalam formulasiformulasi ideologi keagamaan dari Syarikat islam pada masa-masa sesudah tahun 1923.   
 Sewaktu kongres islam yang ke IV diselenggarakan di bandung pada bulan februari tahun 1926 dan kongres tersebut hampir sepenuhnya dikuasai oleh pemimpin organisasi islam moderen yang mengabaikan usul-usul pemimpin islam tradisisonal yang menghendaki terpeliharanya praktek-praktek keagamaan tradisional (antara lain madzhab 4 memelihara, pemeliharaan kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah). Akibatnya para Kyai dan para ulama-ulama yang dipimpin langsung oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari  melancarkan kritik-kritik yang keras kepada kaum Islam moderen dan sejak permulaan pada tahun 1926 membentuk Jami’yah Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan para pemimpin islam tradisional. Pengaruh Nahdlatul Ulama yang besar di kalangan Kyai dan Ulama di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan kaum awam. Sebagaimana dirumuskan dalan anggaran dasar Nahdlatul Ulama pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu dari madzhab 4 dan melakukan kegiatankegiatan yang menguntungkan para anggotanya sesuai dengan ajaranajaran islam. Adapun kegiatan pokok antara lain 1. Memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia kepada ajaran-ajaran Madzhab; 2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam; 3. Penyebaran-penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan Madzhab empat; 4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasi; 5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren; 6. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.  Jadi, Nahdlatul Ulama menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab syafi’I yang dianut oleh kebayakan umat islam di seluru nusantara ini. Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para Kyai yang terkadang adalah pemilik tanah dan pedagang.  Nahdlatul Ulama sebagai satu organisasi sosial yang terbesar di Indonesia, sebenarnya adalah komunitas islam yang semenjak kelahirannya tujuh puluhan tahun yang lalu senantiasa berusaha menekankan pentingnya pelestarian dan penghargaan terhadap khazanah budaya nusantara. Di ilhami oleh Dakwa khas Wali Songo yang berhasil “mengawinkan” lokalitas budaya dengan universalitas agama (islam) ,NU berupaya menebar benih-benih islam dalam wajah yang familiar atau muda di kenali oleh seluruh masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional, sehingga kondusif bagi dua hal yang sangat di butuhkan dalam konteks pluralisme, yaitu:  
 Pertama, perekatan identitas kebangsaan. Karena masuk melalui jalur budaya dengan membawa watak pluralis, hampir tidak ada komunitas budaya yang merasa terancam eksistensinya, baik langsung maupun tidak. Malai dari sinilah kemudian muncul kaidah hukum islam “al’adah muhakkamah” yang memberi peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonfersi menjadi bagian hukum Islam. Selama tidak menyangkut ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan semacamnya, aktifitas budaya sangat mugkin dinilai sebagai kegiatan yang bermuatan agama jika memang berperan menegakkan perinsip-prinsip yang diperjuangkan Islam. Dan dalam batas yang minimal, aktifitas budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak merusak kemaslahatan.  
 Dengan demikian, meski secara statistik tergolong mayoritas, kehormatan islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara-cara yang bisa diterima oleh kelompok lain, bukan ditegakkan dengan sebuah penindsan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi komunitas masayarakat manapun, yang pada gilirannya, cara-cara ini dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama sebagai bangsa.   
 Kedua;  pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak dapat disangkal bawa penampilan islam yang akomodatif, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan-penegakan nilai-nilai kemanusiaan dibanding kekakuan sikap dalam beragama yang bisa mereduksi hak-hak asasi masyarakat karena cenderung berpijak pada eklusifisme yang berpotensi memonopoli kebenaran serta gampang menyulut kekerasan berbasis agama sikap akomodatif tentu saja harus dibedakan dari kekeringan komitmen keislaman yang menunjukkan lemahnya iman. Sebaliknya sikap akomodatif justru muncul sebagai bukti totalitas pemahaman terhadap agama yang diyakini mampu menjadi rahmat bagi semua orang.  
 Pada akhirnya, sikap akomodatif yag lahir dari adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasnan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan prilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang.   Nahdlatul Ulama dalam merespon problem kebangsaan menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidak seluruh perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama pada bangsa indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu, terhadap jejak sejarah panjang Nahdlatul Ulama kita membutuhkan tahap pemahaman sebagai berikut:  
1. Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan 
Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan tampil sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembati kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik 
Indonesia 
2. Nahdlatul Ulama (NU) masa kemerdekaan  
a. Masa Orde Lama  
Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan dirinya menjadi partai politik hanya karena menghadapi komunis. Sebab kuatnya komunis sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama dengan suara yang keras akhirnya mampu mempertahankan dasar negara pancasila.  
b. Masa Orde Baru 
Dengan kebijakan pemerintah yang kuat, posisi Nahdlatul Ulama dengan kelompok Islam lainnya kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan sepakat mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial tetap menjadi perhatian Nahdlatul Ulama dan secara politik partai tersebut menjadi rode politik Nahdlataul Ulama.  
c. Masa Reformasi 
Dimasa reformasi pola politik mengalami perubahan, 
Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat kembali ke khittah. Yakni Nahdlatul Ulama (NU) murni sebagai organisasi sosial keagamaan dan mengambil jarak yang sama terhadap partai politik yang ada. Sehingga Nahdlatul Ulama bukan milik siapa-siapa tetapi merupakan milik potensi bangsa Indonesia.   
 Jadi dalam sejarahnya,  Nahdlatul Ulama memang berdiri sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan purifikasi). Dan berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para Kyai dengan komunitas pesantrennya yang merupakan peyanggah utama kelompok Islam tradisionalis. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa, Negara dan umat Islam. 
2. Pengertian Nahdlatul Ulama’ 
Banyaknya perbadaan ideologis dan perbedaan orientasi dalam merespon fenomena yang ada, baik dalam skala nasional dan internasional khususnya dunia Islam maka pada tanggal 31 Januari 1926 lahirlah Nahdlatul Ulama sebagai representatif dari kaum tradisionalis, yang merupakan jawaban dari umat Islam terhadap problem dan fenomena yang berkembang dalam dunia Islam di Indonesia dan untuk berkiprah dalam memperkuat barisan kebangkitan naisonal. Nahdlatul Ulama’ berasal dari bahasa arab. Nahdlatul artinya bangkit atau bergerak. Nama Nahdlatul 
Ulama’ adalah usulan dari Ulama’-ulama’ pada zaman dahulu. Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi masyarakat dan keagamaan yang mempunyai lambaga yang menggambarkan dasar tujuan dan cita-cita dari keberadaan organisasi. Lambing Nahdlatul Ulama’ diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah, setelah melalui proses perenungan dan hasil sholat istikharah sebagai petunjuk dari Allah SWT. Lambang Nahdlatul Ulama’ adalah sebagai berikut: 
1. Globe (bola dunia) melambangkan bumi tempat manusia hidup dan mencari kehidupan yaitu dengan berjuang, beramal, dan berilmu. Bumi mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. 
2. Peta Indonesia yang terlihat pada globe (bola dunia). Melambangkan bahwa NU berdiri di Indonesia dan berjuang untuk kekayaan Negara 
RI.  
3. Tali bersimpul yang melingkari globe (bola dunia), melambangkan persatuan yang kokoh dan ikatan di bawahnya melambangkan hubungan manusia dengan Allah SWT. Untaian tali berjumlah 99. Melambangkan asmaul husna agar manusia hidup bahagia di dunia dan 
akhirat.  
4. Bintang besar, melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Empat bintang di atas garis katulistiwa melambangkan kepemimpinan Khulafaur Rosyidin Abu Bakar, Umar bin Khottob, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib. Empat di bawah garis katulistiwa melambangkan empat madzhab yaitu : Imam Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali.  
5. Tulisan arab “Nahdlatul Ulama” membentang dari kanan ke kiri, menunjukkan organisasi yang berarti kebangkitan para ulama’.  
6. Warna dasar hiijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia sedangkan tulisan yang berwarna putih melambangkan kesucian. Berdasarkan uraiaan di atas dapat disimpulkan NU adalah organisasi keagamaan yang setia mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw.  
Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa,   Negara dan umat islam.  Nahdlatul Ulama merupakan organisasi terbesar di Indonesia, dan mempunyai peran strategis dalam membentuk struktur sosial yang ideal. Struktur organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari para kiai yang merupakan simbiosis ulama, kiai merupakan sentral figur dalam kehidupan masyarakat. Menghadapi problem yang menghimpit masyarakat, seperti kemiskinan kebodohan, imperialisme budaya dan kesewenang-wenangan penguasa, ulama harus tampil digarda depan. Sangat naif jika ulama hanya bertugas memberi contoh dalam ritual-ritual keagamaan semata. Sebab esensi ibadah adalah mencakup dua dimensi, yaitu, dimensi ubudiyah, hubungan individu dengan tuhan, dan dimensi mu’amalah, hubungan manusia dengan manusia yang lain (sosial), jadi keduanya harus berjalan secara simultan tanpa menyisihkan salah satunya, menyisihkan salah satu dimensi, berarti suatu kepincangan dalam memahami nilai-nilai Tuhan. Ulama adalah pewaris nabi, warasatul anbiya’ wal mursalin, maka yang bertanggungjawab digarda depan dalam mengemban misi kenabian adalah para ulama, 
 Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang lebih menonjolkan sifat keulamaan dalam arti kepengurusan organisasinya terdiri dari kalangan ulama atau kiai. Sedang ulama dan kiai sendiri umumnya bekerja dibidang pertanian yang menetap, kalaupun mereka berdagang mobilitas mereka juga kurang intensif seperti umumnya pedagang luar jawa. Sejak abad lalu kiai merupakan sisi penting dalam kehidupan tradisional petani di pedesaan.  
Sehingga Nahdlatul Ulama harus mendesain program kerja secara optimal dan membangun visi dan misi yang jelas untuk mewujudkan tatanan sosial  yang benar. Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ atau organisasi NU adalah suatu Organisasi masyarakat (ORMAS) sebagai sarana perjuangan para Alim Ulama’ untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.   Tidak hanya itu Nahdlatul Ulama dan para pendukungnya memainkan peranan aktif dan radikal pada masa perjuangan, yang mungkin sulit dicocokan dengan reportasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang moderat dan kompromistis. Sepanjang dasawarsa akhir pemerintahan Belanda, Nahdlatul Ulama selalu memberikan kesetiaanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini sejalan dengan sikap Sunni tradisional bahwa pemerintahan yang membolehkan umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih baik dari pada fitnah  yang diakibatkan pemberontak. Setelah perang Belanda masih percaya bahwa mereka dapat memulihkan keadaan sebagaimana sebelum perang dan mengaharapkan para kiai (dan juga para tokoh Muhammadiyah) agar bersikap akomodatif sebagaimana sebelumnya. Dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan revolusioner. Nahdlatul Ulama menyatakan perjuangan tersebut sebagai jihad (perang suci). Deklarasi ini kemudian dikenal sebagai “Resolusi Jihad” yang telah mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tidak disangka-sangka. Revolusi ini nampaknya merupakan pengakuan yang legitimasi bagi pemerintah sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya, dengan mengeluarkan “Resolusi Jihad”, dengan kritik implisitnya terhadap pemerintah Republik, Nahdlatul Ulama telah menampilkan dirinya sebagai kelompok radikal. 
Jadi, Nahdlatul Ulama menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab syafi’I yang dianut oleh kebayakan umat islam di seluru nusantara ini. Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para Kyai yang terkadang adalah pemilik tanah, masyarakat dan pedagang.  Jadi dalam sejarahnya,  Nahdlatul Ulama memang berdiri sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan purifikasi). Dan berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para Kyai dengan komunitas pesantrennya yang merupakan peyanggah utama kelompok Islam tradisionalis. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, keIslaman organisasi ini dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab 
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa, Negara dan umat Islam. 
3. Tujuan Didirikan Nahdlatul Ulama’ 
Sebagaimana yang ditulis para akademisi, penulis, pemerhati, intelektual, dan ilmuan. Baik dalam maupun luar negri tentang NU, demikian juga yang terdapat dalam anggaran dasar (AD) Nahdlatul Ulama Bab I pasal 1 disebutkan bahwa: jam’iyah ini bernama NAHDLATUL 
ULAMA’ di singkat NU. Didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1334 H. bertetapan dengan tanggal 31 januari 1926 M,  latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama’ adalah kondisi transisi dari keterpurukan umat menuju kepada penyadaran pemahaman keagamaan mengalami puncaknya pada tahun 1924, Makkah pada waktu itu ditakhlukkan oleh Abdul al- Aziz ibn Saud yang beraliran Wahabi. Karena itu Makkah menjadi tren reformasi ajaran agama Islam dengan menekankan wawasan 
Islam sebagai falsafah hidup berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Ibnu Saud 
ketika berkuasa dengan mengalahkan raja Hijaz (Makkah), Sarif Husain, dan putranya pada tahun 1924, tersebarlah berita bahwa para penguasa baru ini akan menghilangkan Madzhab yang ada. Dan untuk mengambil ahli umat, maka ibnu Saud merencanakan menggelar muktamar khilafiyah sebagai ganti Daulah Usmaniyah. Kala itu, seluruh negara Islam diundang melalui perwakilannya, termasuk Indonesia. Awalnya, Utusan direkomendasi adalah HOS Cokro Aminoto (Syarikat Islam), Kyai H. Mas 
Mansyur (Muhammadiyah) serta Kyai H. Wahab Hasbullah (pesantren). Namun, karena tidak mewakili organisasi permanen, maka, nama Kyai H. Wahab Hasbullah dicoret. Peristiwa ini menyisahkan sakit hati bagi kalangan pesantren karena tidak ada lagi yang dapat dtitipi keberatan akan tindakan pemerintahan ibnu Saud. Kalangan pesantren sangat tidak menerima sikap penguasa Makkah kala itu yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah ke makam Ulama’, anti kegiatan membaca kitab barzanji dan sebagainya.   Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari nuansa politis yang muncul sebelum terjadinya kongres Al Islam di Bandung, didalam rapat antar organisasi pembaharu di Cianjur memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah, satu bulan kemudian kongres Al Islam tidak menyambut baik gagasan K.H. Wahab Hasbullah yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia, penolakan yang memang masuk akal itu dikarenakan kaum reformis itu menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi, yang menyebabkan kaum tradisionalis terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri yaitu dengan membentuk komite Hijaz untuk mewakili mereka dihadapan raja Ibnu Su’ud. Untuk memudahkan tugas ini maka diputuskan untuk mendirikan organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama. 
Karena kekecewaannya yang tidak terhingga kepada kalangan modernis di tanah air serta faktor luar negeri, maka, para ulama pesantren membentuk komite Hijaz (panitia aksi untuk menanggulangi tindakantindakan penguasa Hijaz), serta mengirimkan sendiri delegasi menghadap raja Ibnu Saud. Bagi para Kyai pengasuh pondok pesantren, pembaruan adalah sebuah keharusan. Seperti diketahui, Kyai H. Hasyim Asy’ari tidak mempersoalkan dan menerima gagasan dari Muhammad Abduh untuk menghimbau umat agar kembali kepada Islam. Namun, Kyai H. Hasyim 
Asy’ari tidak dapat menerima pemikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterkaitannya dengan empat madzhab. Namun karena ide pembaruan yang dikemukakan kalangan moderenis dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan, bahkan membodohkan ulama dan pesantren. Maka para Kyai dan Ulama’ menolaknya. Sehingga bukan substansi dari pembaruan yang ditolak para Kyai, tapi, pandangan bahwa Ulama’ pesantrenn sebagai kelompok yang rendah kualitasnya, intelektualnya suatu hal yang menyinggung wibawa para Ulama’ pengasuh lembaga pendidikan Islam tertua. Bagi Nahdlatul Ulama’ pembaruan adalah keharusan dengan tanpa harus menghilangkan hasanah keilmuan yang telah ada.    Berdirinya  Nahdlatul Ulama juga tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita al-Qur’an dan Hadits)   seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-bidang hukumhulum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’I. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur AlMaturidzi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-junaidi. Nahdlatul Ulama’ kemudian menetapkan tujuannya dan mengerjakan apasaja yang menjadi kemaslahatan agama islam. Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan ikhtiyar antara lain  
1. Mengadakan perhubungan antara ulama’-ulama’ yang bermadzhab 
tersebut. 
2. Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab tersebut dari kitab-kitab ahli sunnah 
waljama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah. 
3. Mengajarkan agama islam di atas madzhab tersebut dalam pasal 2 dengan jalan yang baik.  
4. Berikhtiyar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasr agama Islam. 
5. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid, langgar dan pesantren begitu juga memperhatikan anak-anak yatim dan fakir miskin. 
6. Mendirikan badan-badan untuk memajukan bidang pertanian, 
perniagaan, perdagangan yang tidak dilarang oleh ajaran agama Islam. 
tidak hanya warga Nahdlin ikut berjuang setelah kemerdekaan namun setelah penjajahan keterlibatan dalam mempertahankan idieologi dan kebebasan juga dilakukan oleh warga Nahdliyin. Selain melakukan diplomasi, perlawanan dalam bentuk fisik  juga dilancarkan pada jaman jepang menyatakan bahwa dalam mempertahankan kemerdekaan para kiai telah memutuskan fatwa resolusi jihad yang mendorong rakyat Surabaya ikut serta dalam perang 10 November 1945. Isi keputusan tersebut adalah: 
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17-8-1945 wajib dipertahankan. 
- Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan dipertahankan meskipun harus mengorbankan harta dan nyawa 
- Musuh Republik Indonesia terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara sekutu  (Amerika-Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk menjajah Indonesia 
- Umat Islam terutama warga Nahdlatul Ulama, wajib mengangkat senjata melawan Belanda  dan sekutunya yang hendak kembali menjajah 
Indonesia. 
- Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam  (fardlu ain) yang berada dalam jarak radius sembilan puluh empat kilo meter (yakni dimana jarak umat Islam boleh sembahyang Jama’ dan Qoshar). Adapun mereka yang berada diluar jarak tersebut wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius sembilan puluh empat kilo meter tersebut. 
 NU menetapkan dirinya bertujuan menjadi pengawas islam tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’I yang dianut oleh umat Islam seuruh nusantara. Ini berarti NU mempertahankan ilmu dan hak para ulama’ untuk menafsirkan ayat-ayat suci dan hadits dari kekeliruan.   
Nahdlatul Ulama’ sebagai sebuah organisasi jamiyah lahir dari wawasan keagamaan yang bertujuan memajukan faham Islam ahli sunnah wal jama’ah aliran pemikiran Islam dibidang sosial kemasyarakatan berlandasan pada prinsip-prinsip keagamaan yang bercorak tasamuh (toleran) dan bersifat tawasud (moderat). Prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan ini memberikan ruang gerak lebih luas kepada Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk merespons berbagai perubahan di lingkungannya, dan sangat toleran terhadap berbagai perbedaan yang berkembang dalam masyarakat plural seperti di Indonesia, tanpa terjebak dalam ekstrim kiri dan kanan yang secara fundamen sering kali merusak dimensi-dimensi solidaritas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Responsif, akurat, dan objektif atas kompleksitas problema empirik masyarakat bangsa tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran Kyai (ulama’) semata, sudah barang tentu membutuhkan tenaga-tenaga profesional muda yang trampil, visibel dan kapabel dalam memberikan solusi alternatif yang konseptual dan sistematis. Disinilah pendirian sebuah organisasi yang independen dan otonom Nahdlatul Ulama’ (NU) mengemukakan pikiran urgensinya.     
7. Peran Nahdlatul Ulama dalam Sosial, dan Pendidikan 
a) Sosial 
Khittah 1926 merupakan perkembangan yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama, apalagi diteropong dari wacana sosial keagamaan dengan khittah 1926, Nahdlatul Ulama’ sebagai sebuah organisasi jamiyah lahir dari wawasan keagamaan yang bertujuan memajukan faham Islam ahli sunnah wal jama’ah aliran 
pemikiran Islam dibidang sosial kemasyarakatan berlandasan pada prinsip-prinsip keagamaan yang bercorak tasamuh (toleran) dan bersifat tawasud (moderat). Prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan ini memberikan ruang gerak lebih luas kepada Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk merespons berbagai perubahan di lingkungannya, dan sangat toleran terhadap berbagai perbedaan yang berkembang dalam masyarakat plural seperti di Indonesia, tanpa terjebak dalam ekstrim kiri dan kanan yang secara fundamen sering kali merusak dimensidimensi solidaritas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Responsif, akurat, dan objektif atas kompleksitas problema empirik masyarakat bangsa tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran Kyai (ulama’) semata, sudah barang tentu membutuhkan tenaga-tenaga profesional muda yang trampil, visibel dan kapabel dalam memberikan solusi alternatif yang konseptual dan sistematis. Disinilah pendirian sebuah organisasi yang independen dan otonom Nahdlatul Ulama’ (NU) mengemukakan pikiran urgensinya.     
Nahdlatul Ulama membuka lembaran sejarah baru  dalam mengatasi kelemahan-kelemahan masalah sosial kemasyarakat. Pada giliranya, Nahdlatul Ulama mampu menemukan dan menerapkan jati dirinya sebagai organisasi sosiorelegius yang didirikan ulama-ulama pesantren Dari dimensi sosial keberadaan Nahdlatul Ulama merupakan upaya peneguhan kembali semua tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga pesantren, kiai, santri, dan jamaah yang tersebar di tanah air sebagai unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan Nahdlatul Ulama tidak terlalu sulit dalam menyebarkan sayap organisasinya. Hubungan kekerabatan kiai sendiri dalam lingkungan pesantren di Jawa sangat membantu penyebaran sampai ke daerah-daerah. Sifat penyatuan lingkungan itu akan menimbulkan interaksi sosial antara pesantren dengan penduduk setempat serta membentuk pola kepemimpinan sosial yang berpusat pada para Kyai. Perubahan sosial indonesia dapat terlaksana lebih baik. Bukan karena Nahdlatul Ulama (NU) memiliki basis terbesar masyarakat pedesaan dan hadirnya perubahan sosial masyarakat kota yang memiliki kecenderungan eksploitatif terhadap masyarakat pedeaan. Tapi, karena Nahdltul Ulama memliki organ otoritas interpretasi sosial, yakni para Kyai. Di tangan perubahan sosial dimonitoring, sekaligus dicarikan akar argumentasi idiologis dari sebuah perubahan sosial.   
Para Kyai terbukti sudah cukup sukses mentraformasikan fiqihfiqih imam madzhab menjadi sebuah pemikiran dan prilaku masyarakat indonesia. Bukti upaya pecetakan realitas Arabisme yang diterapkan di indonesia. Kekuatan pondok pesantren dan interaksi sosial yang kerap dengan masyarakat sekitar cukup memberikan sosialisasi tranformasi budaya yang serba cepat. Secara fisik pada awalnya pondok pesantren hanya terdiri dari elemen-elemen Kyai, 
Santri, dan bangunan rumah Kyai sebagai tempat pengajaran. Kemudian pola ajaran tersebut berkembang dalam berbagai pola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan para Kyai dalam upaya mengembangkan pondok pesantren tersebut. Pesantren sebagai basis sosial dan budaya NU karena dianggap sebagai sub-komunitas yang paling prestigius dalam masyarakat bangsa ini. Ketika era penjajahan dunia perpolitikan di Nusantara tidak memberi ruang untuk berperannya tokoh-tokoh Islam. Para Ulam berupaya menekuni bidang pengembangan pendidikan Islam yang berrbasis pedesaan, dan di Desalah awal mula berdirinya dan berkembangnya pesantren.   
Keberadaan Pesantren, baik dari segi fisik pemondokan maupun (Ajaran) tradisi komunitasnya, menurut Sukamto, memiliki kemiripan dengan subkultur masyarakat Jawa dan Madura pondok gede. Pondok itu merujuk pada bangunan masjid. Sementara pola kepemimpinan Kyai dalam hubungannya dengan Santri mengikuti pola kepatuan dimana Santri menjadi amat patuh pada Kyai atau Gurunya. Pola hubungan itu menggambarkan suatu kolerasi refleksi antara kondisi fisik perumahan dan bentuk hubungan sosial komunitasnya. Secara lebih khusus keberadaan Kyai ditengah para santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan dengan posisi Raja di Jawa dimana Raja benar-benar memiliki peran penting dalam rangka mengarahkan masyarakatnya.  Singkatnya, palimg kurang pada tiga pokok yang memungkinkan Kyai NU memiliki kelebihan dan mempertahankan dominasi kulturalnya dalam masyarakat.  
Pertama, tingginya derajat mobilitas Kyai dalam membangun jaringan hubungan dengan komunitas diluarnya, baik sesama Kyai dalam pertemuan-pertemuan jaringan tertentu maupun dengan pihakpihak lain, memungkinkan mereka memperoleh informasi baru yang belum dimiliki para santri dan mayarakat sekitarnya. 
Kedua, posisi sentral dan ketokohan Kyai di desa dan pesantrennya, menjadikan mereka sebagai sumber rujukan bagi orangorang yang datang dari luar desa, di mana orang-orang yang datang ke desa (dengan berbagai kepentingannya ) tak bisa mengabaikan eksistensi dan peran Kyai. Kyai hampir selalu dijadikan sebagai tempat bertanya dan sekaligus acuan bagi orang-orang luar desa. Posisi seperti itu menjadikan para kyai memiliki akses yang lebih luas dan bakan lebih istimewa dari pihak lain sehingga ketokohan Kyai bukan saja dalam konteks masyarakat desa dan santrinya, melainkan juga dalam kaca mata orang-orang yang berasal dari luar desa bersangkutan.   
Ketiga, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari posisinya, Kyai biasanya memiliki kelebihan yang bersifat material dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya, termasuk memiliki akses informasi lebih baik. Semua itu, dengan kata lain, menjadikan kereka memiliki kelebihan dalam bidang means of production dalam bentuk idias dan sekaligus material, di mana semua itu dibutuhkan oleh para santri dan masyarakat umumnya.  Seiring dengan itu, juga terbentuk mayoritas setatus sosial para Kyai yang lebih dibandingkan dengan lapisan masyarakat lainnya. Fenomena masa kini yang disinyalir menurunkan tingkat otoritas interpretasi para Kyai, dengan adanya bentuk-bentuk pembangkangan masyarakat terhadap pilihanpilihan mayoritas sosial para Kyai. Sebenarnya tidak lepas dari hadirnya otoritas interpretasi sosial baru yang diprakasai oleh para Kyai lain dengan ritme berbeda. Jadi bukan penurunan otoritas pretasi sosial para Kyai, tetapi lebih merupakan peralihan otoritas interpretasi sosial kepada para Kyai yang berbeda, Pondok pesantren dan masyarakat Islam pedesaan menjadi pilar yang tetap kokoh sehingga tidak salah jika ada yang menyebut Nahdlatul Ulama merupakan organisasi pesantren dan masyrakat perdesaan. Hampir semua tokohtokoh Nahdlatul Ulama memiliki pesantren dan mushola walaupun itu kecil, pondok pesantren merupakan wahana yang tepat dan strategis, sehingga memudahkan para santri untuk menguasai kitab kuning yang ditulis oleh para imam madzhab terutama Imam Syafi’i. keterkaitan Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren dibuktikan dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia. Ciri-ciri umum elemen dasar pondok pesantren adalah ; a) Pondok, yaitu tempat tinggl para santri, b) Masjid, yaitu bangunan yang dipakai untuk mendidik para santri terutama dalam praktek sholat berjama’ah lima waktu, khutbah, dan pengajaran kitab kuning(klasik), c) Santri, yaitu anak didik yang belajar di pondok pesantren, yang terdiri santri mukim atau kalong, d) Kiai, adalah sentral figure juga berperan sebagi pengajar kitab klasik, dan biasanya juga pemilik pondok pesantren, e) Kitab Kuning (kitab 
Islam klasik) yang dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu Nahwu dan Sharaf, Fiqih, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf, dan Etika. Pada dasarnya pendidikan Islam pada umumnya, dan Nahdlatul Ulama  pada khususnya senantiasa bersentuhan dan bergulat dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif historis pergumulannya dengan sosio-kultural, menemui dua kemungkinan: Pertama, pendidikan Islam memberikan pengaruh terhadap sosiokultural, dalam arti memberikan wawasan filosofi, arah pandangan motivasi perilaku, dan pedoman perubahan sampai terbentuknya suatu realitas sosial baru, Kedua, pendidikan Islam di pengaruhi oleh perubahan sosial dan lingkungan sosio-kulural dalam penentuan sistem pendidikan.  
Pandangan keagamaan Nahdliyin sejak awal adalah keberislaman yang sejalan dengan karakteristik Ke-Indonesaan yang pulral dan menghargai keanekaragaman dalam ketunggalan dan menjunjung tinggi kebhinekaan. Subangsi NU merupakan kontribusi yang sangat berharga bagi umat islam pada umumnya. Islam rahmatan lil alamin sebagai kiblat pemikiran umat islam harus dijadikan modal dasar untuk membangun kembali peradaban Islam yang sudah lama tertimbun oleh idiologi sektarianisme dan primordialisme.    Gerakan sosial yang dilakukan oleh ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama’ (NU) dengan transformasi sosial, politik, dan ekonomi dalam rangka pemberdayaan kaum dlu’afa bukanlah pekerjaan mudah, terlebih di tengah sisitem politik yang cenderung pemusatan kekuasaan, penindasan aspirasi dan pembuntuan partisipasi, sementara kondisi internal ormas yang bersangkutan belum sepenuhnya mendukung. Karena itu diperlukan minimal dua peraangkat. Pertama, landasan teologis yang menjustifikasikan gerakan sosial. Kedua, wahana perjuangan yang diharapkan bisa memberi jalan untuk merealisasikan tujuan gerakan. Dalam Islam, keduanya tersedia, yang pertama adalah iman sebagai pengakuan seorang mukmin terhadap keterkaitannya dengan eskatologi agamanya, sedang yang kedua tak lain ialah jihad menjadi wahana keterlibatan seorang mukmin dengan fungsi sosial agamanya dalam merespon kenyataan yang ada. 
Gerakan sosial memang memerlukan perangkat yang 
kondusifuntuk mengantarkan tujuannya. Karena tuntutan berkorban yang begitu besar dalam gerakan sosial, sementara kesiapan menuju ke sana sangat minim, maka Islam memberikan pengantar yang punya nilai sakral tinggi, yakni jihad. Segudang nash baik dari al-Qur’an maupun hadits yang bermuatan perintah, himbauan atau minimal janji Allah, cukup menjadi bukti betapa Islam memberikan motivasi yang sangat kuat  kepada pemeluknya untuk berjihad. Tentu saja, jihad di sini harus dipahami secara luas, bukan dalam arti sempit dengan mengangkat senjata dan memobilisasi tentara seperti ditangkap oleh orang yang awam terhadap agama. Diungkap oleh Abu Bakar Syatha, jihad dalam arti sempit sedapat mungkin dihindarkan jika masih terbuka jalan lain untuk memperjuangkan misi agama. Kewajiban jihad ditekankan pada wujubul wasil,bukan wujubul maqashid. Artinya, jihad dalam arti memerangi musuh Islam bukan tujuan, melainkan sekedar perantara untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yakni penyadaran terhadap nilai keagamaan dan pembebasan dari 
kedzaliman. Karena itu, bila tujuan tersebut bisa dicapai tanpa melalui cara yang radikal dan eksterm tadi, maka cara lain yang lebih bijaksana harus ditempuh, meski dalam kenyataan acapkali lebih sulit ketimbang cara perang. Misalnya dengan gerakan moral, kultural, sosial, ekonomi ataupun politik yang mengaruh pada pengupayaan transformasi dan dan pembangunan insfrastruktur yang memberikan akses penuh kepada umat untuk terlibat dalam upaya penyadaran pembebasan yang disebut di atas. Cara alternatif inilah yang sebagaian diantaranya sudah atau sedang diupayakan oleh NU yang layak dijadikan sebagai instrumen oprasional dalam rangka menjangkau tujuan jihad.    
 
b) Pendidikan 
Dalam bidang pendidikan Nahdlatul Ulama merupakan manifestasi modern dari kehidupan keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri  dalam membentuk masyarakat, kekompakan itu merupakan lembaga yang mempunyai peran kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam pada kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang bergerak dalam bidang  pendidikan. Nahdlatul Ulama merupakan manifestasi modern dari kehidupan keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri  dalam membentuk masyarakat, kekompakan itu merupakan lembaga yang mempunyai peran kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam pada kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang bergerak dalam bidang  pendidikan. Pertama, pendidikan Islam memberikan pengaruh terhadap sosio-kultural, dalam arti memberikan wawasan filosofi, arah pandangan motivasi perilaku, dan pedoman perubahan sampai terbentuknya suatu realitas sosial baru, Kedua, pendidikan Islam di pengaruhi oleh perubahan sosial dan lingkungan sosio-kulural dalam penentuan sistem pendidikan Pesantren adalah model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia, jika dilihat dari keberadaanya, pesantren merupakan institusi pendidikan dan dakwah agama Islam. Ia lahir ditengah-tengah masyarakat yang belum mengenal sekolah dan universitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam wacana ini, menjalankan fungsi pendidikan merupakan tugas pokok dari semua pesantren. Sementara itu fungsi agama dalam kehidupan diharapkan menjadi faktor  pencerahan dan langit pelindung (the sacred canopy) bagi kehidupan manusia. Pencerahan yang menumbuhkan kedamaian, keadilan, demokrasi, moralitas, dan pemenuhan hak dasar manusia  serta tegaknya adiluhur dalam menghantarkan manusia kepintu gerbang rahmat.  Secara kultural pesantren merupakan embrio pendidikan Nahdlatul Ulama, akan tetapi komunitas pessntren masih memiliki keterbelakangan, oleh karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan pesantren harus dilakukan langkah-langkah, antar lain: 1) Intropeksi diri atas pemahaman teologi aswaja, 2) Pengasuh pesantren hendaknya menjadi pioner dalam pengembangan pendidikan pesantren, yang tidak hanya menyenangkan umat tetapi juga mencerdaskanya, 3) Masyrakat pesantren harus segera malakukan transformasi nilai kepesantrenan, yaitu; keikhlas, kebersamaan, kemandirian, dan semangat pembaharuan, dan 4) Adanya hubungan timbal balik yang baik antara komunitas pesantren dengan aparatur negara dalam segala bidang. Penekanan lebih dalam tranformasi ini adalah dalam dua hal. Pertama, dengan mengatualkan ajaran-ajaran kitab kuning dalam bentuk kajian dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pada tingkat ini telah dilakukan penafsiran kembali ajaran-ajarann islam dalam kitabkitab fiqih serta penerapannya ke dalam realita sosial, baik yang meyangkut kepemimpinan, pemberantasan kemiskinan, maupun 
pelestarian lingkungan, bahkan industrialisasi, baik itu pertanian, jasa, maupun makanan dan minuman kaleng dan sebagainya. 
Beberapa pesantren di Jawa, Madura, Sumatra dan Kalimantan, telah mempelopori transformasi itu. Misalnya pesantren Al-Falah Bogor telah mempelopori industrialisasi pertanian, pesantren Maslakhul Huda Pati melakukan pengentasan kemiskinan melalui industri kecil dan koprasi, Pesantern Pabelan Magelang dan AnNuqayah Madura, melakukan gerakan pelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang transformasi yang kini dilakukan pesantren itu tidak hanya maju dalam segi pendidikan tapi juga akan memperkuat baasisbasis ekonomi islam dan pada gilirannya akan memperkuat posisi masyarakat dihadapan negara. Kedua, transformasi dalam bentuk subtansialisasi pemikiran keagamaan. Upaya ini mencoba mengubah cara berfikir semata-mata legalistik dengan cara berfikir yang lebih filosofis. Upaya ini dimulai untuk mendekatkan kembali filsafat pengetahuan dalam pemikiran keagamaan yang telah lama luruh dalam pemikiran legalistik formal.       
8. Nahdlatul Ulama Sebagi Organisasi Kemasyarakat  
Nahdlatul Ulama’ sebagai sebuah organisasi jamiyah lahir dari wawasan keagamaan yang bertujuan memajukan faham Islam ahli sunnah wal jama’ah aliran pemikiran Islam dibidang sosial kemasyarakatan berlandasan pada prinsip-prinsip keagamaan yang bercorak tasamuh (toleran) dan bersifat tawasud (moderat). Prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan ini memberikan ruang gerak lebih luas kepada Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk merespons berbagai perubahan di lingkungannya, dan sangat toleran terhadap berbagai perbedaan yang berkembang dalam masyarakat plural seperti di Indonesia, tanpa terjebak dalam ekstrim kiri dan kanan yang secara fundamen sering kali merusak dimensi-dimensi solidaritas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Responsif, akurat, dan objektif atas kompleksitas problema empirik masyarakat bangsa tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran Kyai (ulama’) semata, sudah barang tentu membutuhkan tenaga-tenaga profesional muda yang trampil, visibel dan kapabel dalam memberikan solusi alternatif yang konseptual dan sistematis. Disinilah pendirian sebuah organisasi yang independen dan otonom Nahdlatul Ulama’ (NU) mengemukakan pikiran urgensinya.   Sebagai sebuah organisasi telah berusia tujuh puluh enam tahun, Dalam diri Nahdlatul Ulama terdapat kelompok yng beragam sehingga dari organisasi Nahdlatul Ulama mempunyai wacana beragam pula, dampak dari semua itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut; 1). Terdapat indikasi yang kuat dan tarik menarik antara dorongan eksternal negara yang ingin menjadikan Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari proses hegemoni negara, 2) Semangat internal dari generasi muda Nahdlatul Ulama untuk mempertahankan Khittah 1926 menjadi gerakan masyarakat sipil, dan 3) Menghendaki Nahdlatul Ulama sebagai gerakan masyarakat sipil yang berpijak pada paham liberalisme lebih bertujuan untuk menuntut kebebasan masyarakat untuk “debirokratisasi” dari negara termasuk “deregulasi ekonomi. selain itu, Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi yang telah berusia 76 tahun, namun sebetulnya usia NU dari tradisi telah ada sebelum itu. Dengan kata lain, banyak suka dan duka telah dilalui sehingga tidak sedikit juga pelajaran yang bisa dipetik. Dari perjalanan panjang tersebut minimal NU telah mengalami tiga fase yakni fase NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan menitik beratkan pada aspek sosial dan keagamaan. Kemudian fase NU politik karena NU menempatkan dirinya sebagai partai politik atau bergabung ke dalam partai politik seperti Partai NU dan Masumi dan terakhir, adalah  fase Kultural. Dengan usianya yang lebih tua dibandingkan dengan usia kemerdekaan republik Indonesia itu, NU sebagai organisasi sosial keagamaan sudah banyak makan asam garam dalam memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara. Namun, sebagai organisasi, Nahdlatul Ulama’ tidak mungkin terpaku stastis pada satu sistem manajemen. Konsep-konsep perorganisasian NU yang diterapkan pada tahun-tahun awal berdirinya ternyata harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan pada dekade sesudahnya. Konsep itupun harus disesuaikan ketika pemerintah pendudukan militer jepang berkuasa dengan kekuasaan fascist-nya membekukan seluruh orpol dan ormas dalam bentuk apapun di seluruh Indonesia. Dan konsep manajemen organisasi NU berubah lagi ketika menjadi partai politik. Perubahan-perubahan organisasi NU itu membawa konsekuensi perubahan fisi dan persepsi perjuangan tentang misi organisasi.  
Di sinilah, atau disektor perubahan visi dan persepsi perjuangan tentang misi jam’iyah inilah yang perlu terus menerus diwaspadai, karena perubahan-perubahan itu terjadi pada itensitas yang tinggi, sejalan dengan perubahan-perubahan dinamika masyarakat bangsa dan negara. Karena telah menjadi perubahan visi dan persepsi perjuangan tentang misi jam’iyah itulah, maka ada istilah ‘kembali ke khittah 1926’ yang menunjukkan bahwa perubahan-perubahan itu dirasakan sudah terlampau jauh menyimpang dari visi perjuangan NU.   Salah satu upaya dalam mewujudkan ide kembali ke khittah adalah upaya pemberdayaan kaum nahdliyin dan masyarakat umum dengan memprioritaskan programprogram sosial, ekonomi, pendidikan sebagai bidang garapan. Meskipun demikian Nahdlatul Ulama meninggalkan kiprah politik sama sekali. Yang terjadi justru perubahan paradigma, melalui reinterpretasi dan reorientasi tehadap wacan praktis politik sehingga menjadi lebih luwes dalam mensiasati berbagai perubahan dan perkembangan yang akan tejadi. Selain pada dataran pemikiran Nahdlatul Ulama juga berusaha menyumbangkan tenaga dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama yang berada dibawah dan tertindas (Mustadh’afin) lewat kerja-kerja rintisan dan proyek-proyek pengembangan swadaya masyarakat, baik dilakukan sendiri maupun berkerja sama dengan pihak luar walaupun hasil yang dicapai belum maksimal. Nilai-nilai ke-Islaman yang dijadikan prinsip-prinsip dalam organisasi Nahdlatul Ulama seperti; tasamuh, tawazun dan keberpihakan terhadap kaum tertindas (Mustadh’afin), kemandirian para ulama vis-à-vis penguasa, dan kosmopolitanisme Islam, yang merupakan potensi kultural umat Islam secara umum di Indonesia tidak jauh berbeda dengan tradisi civil society di Eropa. Menurut M. Saekhan Muckith.   bawah Nahdlatul Ulama di indonesia pantas disebut organisasi massa (ormas) terbesar dengan jumlah pengikut hampir 42 juta jiwa dan tersebar hanpir secara merata di seluruh indonesia. Karena pusat kelahirannya di Jawa Timur maka profinsi Jawa Timur menjadi basis terbesar pengikut NU. Menurut sebagian orang, NU identik dengan organisasi massa terbesar, dengan pengikut massa mayoritas di pedesaan, maka tidak heran apabila orang mengatakan bahwa jam’iyah (warga) NU itu “ndesoen” “kolot”, “konserfatif”, “normatif” dan lain-lain.  
Bahkan para pengamat, meyebut oportunis dalam eksprsi 
politiknya. Lepas dari realitas subjektif dan objektif dari sisi peran strategi negeri ini, NU merupakan organisasi yang cukup memainkan peran peran penting, terutama dilihat dari potensi yang tersembuuyi di balik basis massanya yang tersebar merata di kawasan periferial secara ekonomipolitik dan secara kultural berbudaya agraris. Oleh karena itu, sudah saatnya tokoh-tokoh NU yang tidak terjun dalam persoalan politik untuk memikirkan masalah reformasi di tubuh NU. Dan demikian struktur organisasi Nahdlatul Ulama’ sebagaimana yang dijelaskan pada AD 
(Anggaran Dasar)  Nahdlatul Ulama’ (Hasil Muktamar XXX NU, 
2000:110), pada Bab VI pasal 9 tentang struktur organisasi Nahdlatul Ulama’ terdiri atas: 
a) Pengurus Besar 
b) Pengurus Wilayah 
c) Pengurus Cabang 
d) Pengurus Wakil Cabang 
e) Pengurus Ranting 
 Demikian juga dalam ART (anggaran rumah tangga) Nahdlatul Ulama’ (hasil-hasil muktamar XXX NU, 2000: 125), pada bab IV pasal 8 tentang kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Ulama’ terdiri atas : 
a) Pengurus Besar (PB) untuk tingkat pusat. 
b) Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat Propinsi. 
c) Pengurus Cabang (PC) untuk tingkat kabupaten/ kota madya. Dan 
Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di Luar Negri. 
d) Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat kecamatan. 
e) Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat Desa atau Kelurahan. 
Demikianlah struktur organisasi Nahdlatul Ulama’ di dalam AD/ART 
Nahdlatul Ulama’.   
B. Pendidikan Islam Non Formal 
1. Pengertian Pendidikan Islam Non formal   
a.  Pengertian Pendidikan Non formal    
Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang di lakukan di luar sekolah, dalam bentuknya yang paling umum. Selalau ada dalam seluruh masyarakat. Setiap masyarakat mengembangkan proses sosialisasi agar pemuda mengenal mores dan aturan masyarakat. Proses ini menggunakan struktur yang bermacammacam, dari belajar yang paling informal sebagai bagian kehidupan sehari-hari sampai dengan acara-acara yang lebih berstruktur, yang berkaitan dengan transisi dari status usia tertentu ke setatus usia lainya. Istilah pendidikan asli sering kali digunakan untuk menamakan proses pendidikan seperti ini.  Pendidkan asli masi hidup sampai sekarang. Banyak masyarakat memelihara upacara inisiasi, dengan bermacam tingkat instruksional sesuai dengan kepercayaan mereka. Upacara dalaksanakan beberapa hari denagan persiapan informal dan ada juga yang memerlukan maasa yang lebih panjang sampai pemuda dilepaskan kesekolah untuk mengikuti intruksional khusus. Aktifitas pendidikan asli sering kali dihubungkan dengan intruksional keagamaan. cotoh yang sangat banyak tersebar adalah sekolah Al-qur’an yang bentuknya berfariasi yang terdapat diseluruh dunia islam, dan bentuk inroksional yang disjikan oleh Budis di Asia Tenggara. Dan umum lagi, metode intruksional asli menggunakan  sistim magang yang sangat berbeda-beda, khususnya yang berhubungan dengan 
pengobatan orang sakit dan praktek kerajinan tradisonal.39  
Pendidikan Non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.   
Untuk memahami lebih jelas apa pendidikan luar sekolah (pendidikan Non formal), maka akan dikemukakan oleh beberapa pakar yaitu: 
1) Archibald Callaway mendifinisikan pendidikan luar sekolah (pendidikan Non formal) adalah sebagai suatu bentuk kegiatan belajar yang berlangsung di luar sekolah (Callaway dalam Breembeck, 1980).    
2) Philip H.Coombs mendefinisikan pendidikan luar sekolah (pendidikan Non formal) adalah sebagai kegiatan yang teratur dan bersistem, bukan proses sekadarnya dan memang dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.( Coombs, 1973: 
65).  
3) Frederick H, Harbison mendefinisikan pendidikan luar sekolah (pendidikan Non formal) adalah sebagai pembentukan skill dan pengetahuan di luar sistem sekolah formal.   
4) Santoso S. Hamijoyo mendefinisikan pendidikan luar sekolah (pendidikan Non formal) adalah sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan secara terorganisasikan, terencana, di luar sistem persekolahan yang ditujukan kepada individu ataupun kelompok dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 
Sedangkan menurut Coombs menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah suatu aktifitas pendidikan yang diatur di luar sistem pendidikan formal baik yang berjalan tersendiri ataupun sebagai suatu bagian yang penting dalam aktifitas yang lebih luas yang ditujukan untuk melayani sasaran didik yang dikenal dan untuk tujuan-tujuan pendidikan.   
Soelaiman Joesoef menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengalaman, pengetahauan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan. Sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, bahkan lingkungan masyarakat dan Negara.  
Sanapiah Faisal dan Abdullah Hanafi mengatakan bahwa pendidikan non formal adalah segala bentuk kegiatan pendidikan yang terorganisir yang berlangsung di luar sistem persekolahan, yang ditujukan untuk melayani sejumlah besar dari berbagai kelompok penduduk baik tua maupun muda.  
Menurut Zahara Idris bahwa pendidikan non formal dibagi menjadi dua, yaitu yang di lembagakan dan tidak di lembagakan.  Yang dimaksud pendidikan non formal yang di lembagakan adalah suatu bentuk pendidikan yang diserenggarakan dengan sengaja, tertib, teratur, dan terencana di luar kegiatan persekolahan. Sedangkan pendidikan non formal yang tidak di lembagakan adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dengan pengalaman sehari-hari dengan sadar/tidak sadar yang pada umumnya tidak sistematis dan tidak teratur, sejak seorang lahir sampai mati.  
Dalam UU sistem pendidikan nasional pasal 10 ayat 3 juga dijelaskan mengenai pendidikan non formal. Pendidikan non formal adalah setiap kegiatan pendidikan yang diserenggarakan di luar system persekolahan, baik yang di lembagakan ataupun yang tidak dengan maksud memberi layanan kepada sasaran didik dalam rangaka mencapai tujuan belajar, yang kegiatan mengajarnya tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. 
b. Pengertian pendidikan islam 
Dalam al-qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyat,  namun terdapat istilah lain seakar dengannya, yaitu al-robb robbayan, murbbiy, yurbiy dan rubbaniy. Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbaniy. Menurut Abdul Mujib masing-masing tersebut sebenarnya memiliki kesamaan makna, walaupun dalam kontesk tertentu memiliki perbedaan.  
          Istilah lain dari pendidikan adalah Ta’lim, merupakan masdar dari kata ‘allama yang berarti pengajaran besifat pemberian atau penyampean pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Penujukan kata ta’lim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan firman Allah SWT:  
’ÎΤθä↔ Î 6Ρr& tΑ$s)sù Ïπs3Íׯ≈n=yϑ ø9$# ’n?tã öΝ åκyÎztä §ΝOè $yγ=¯ ä. u™!$oÿôœF{$# tΠyŠ#™u zΝ ¯=tæ ρu
 ∩⊂⊇∪ t⎦⎫ Ï%ω≈|¹ öΝ çFΖä. βÎ) Ï™Iωàσ¯≈yδ Ï™!$yϑ ó™r'Î
 
Artinya:”Dan Dia mengajarkan (‘allama) kepada Adam nama-nama (benda-benda seluruhnya), kemudian mengemukakanya kepada para malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 31). 
Dalam khazanah Islam, ada tiga istilah yang berhubungan dengan makna pendidikan. Tiga istilah tersebut adalah ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah.  
1) Kata ta’lim, merupakan masdar dari kata allama yang berarti pengajaran, yang bersifat pemberian atau penyampaiaan pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. 
2) Kata ta’dib yaitu biasanya merujuk kepada peroses pembentukan keperibadian. Ta’dib merupkan kata masdar dari addaba yang dapat diartikan kepada peroses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti. Orientasi ta’dib lebih terfokuskan pada pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Istilah ta’dib, menurut kamus bahasa arab “Al-Mu’jam al-Wasist” biasa diterjemahkan demgan “Pelatihan atau Pembiasaan” mempuyai kata dan makna yang dasar sebagai berikut:a) Ta’dib bersal dari kata dasar “adaba-yah’dubu” yang berarti melatih, untuk berprilaku yang baik dan sopan santun b) Ta’dib berasal dari kata “adabah ya’dubu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat dan berprilaku sopan. 
3) Kata ‘adaba” sebagai bentuk kata kerja ta’dib mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendispilin, dan memberi tindakan.    
 Kata tarbiyah yaitu berbeda dengan ta’lim dan ta’dib. Kata tarbiyah menurut Nizar (2001: 87) memiliki arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan, dan memperoduksi serta menjinakkan, baik yang mencakup aspek jasmaniah maupun rohaniah. Makna tarbiyah mencakup semua aspek yaitu aspek kognitip, aspek afektif, aspek psikomotorik secara harmonis dan integral. Adapun pengertian pendidikan dalam batasan yang luas, batasan sempit, dan batasan yang luas terbatas yaitu: 
a) Pengertian arti luas adalah segala pengalaman belajar yang dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat. Adapun karakteristrik pendidikan dalam arti luas yaitu: pendidikan berlangsung sepanjang hayat, lingkungan 
pendidikan adalah semua yang berada diluar diri peserta didik, bentuk kegiatan mulai dari yang tidak disengaja sampai kepada yang terperogram, tujuan pendidikan berkaitan dengan setiap pengalaman belajar dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.  
b) Pendidikan dalam batasan yang sempit adalah proses pembelajaran yang dilaksakan di lembaga pendidikan formal (madrasah / sekolah) dalam pendidikan ini Islam muncul dalam bentuk sistem yang lengkap. Adapun karakteristik pendidikan dalam arti sempit yaitu: masa pendidikan terbatas, lingkuan pendidikan berlangsung di sekolah, bentuk kegiatan sudah terprogram dan tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar (sekolah / madrasah). 
c) Pendidikan arti luas dan terbatas adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintahan melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang diserenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah) non formal (masyarakat) dan in formal (keluarga) dan dilaksanakan sepanjang hayat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan. Adapun karakteristrik pendidikan dalam arti luas terbatas yaitu: masa pendidikan sepanjang hayat namun kegiatan pendidikan terbatas pada waktu tertentu, lingkungan pendidikan juga terbatas, bentuk kegiatan pendidikan berbebtuk pendidikan, pengajaran, dan latihan, tujuan pendidikan merupakan kombinasi antara pengembangan 
potensi peserta didik sosial demand.   
2. Tujuan Pendidikan Islam Non Formal 
Dilihat dari ilmu pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara/antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir. 
Berbagai tingkat tujuan pedidikan yang dirumuskan secara teoritis itu bertujuan memudahkan proses pendidikan melalui tahapan yang makin meningkat (progresif) ke arah tujuan umum atau tujuan akhir. 
Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan, tujuantujuan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam struktur program intruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi yang gradual yang semakin meninggkat. Bila dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu, pendidikan Islam bisa dibagi dalam beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut: 
a. Tujuan intruksional khusus (TIK), diarahkan pada setiap bidang studi yang    harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik. 
b. Tujuan intruksional umum (TIU), diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan.  
c. Tujuan kurikurel, yang ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap intitusi pendidikan. 
d. Tujuan intruksional adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTA/SLTP 
e. Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui peroses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem non formal (non klasikal atau non kurikuler), maupun sistem in formal (yang tak terkait oleh formalitas program, waktu, ruang, dan 
materi).  
Demikian pula yang terjadi dalam proses kependidikan Islam, bahwa penetapan tujuan akhir itu mutlak diperlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan tidak mengalami deviasi (penyimpangan). 
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahtraan ummat manusia di dunia dan akhirat. Rumusanrumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan mazhab dalam Islam, misalnya sebagai berikut : 
1) Rumusan yang lahir dari hasil keputusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 – 11 Mei 1960, di Cipayung, Bogor. Tujuan pendidikan Islam yaitu menanamkan takwa dan akhlaq serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam. 
2) Rumusan lain tentang pendidikan Islam oleh Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumy al-Saebani. Tujuan pendidikan Islam yaitu perubahan yang diinginkan, yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.  
Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofi, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut: 
a) Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. 
b) Tujuan sosial yang berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan dan tingkah laku masyarakat umunya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman, dam kemajuan hidupnya. 
c) Tujuan profesional yang menyangkaut pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat. 
Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti yang di kehendaki ajaran Islam.   
Dari adanya pernyataan tersebut terkandung suatu maksud bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk manusia agar memiliki kepribadian muslim sejati yang beriman, beramal sholeh dan berakhlak mulia dengan mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dan sesama manusia, bahkan kepada semua mahkluk Allah SWT.  
3. Bentuk-bentuk Pendidikan Islam Non Formal 
Di jelaskan dalam UU No.20 Tahun 2003 Pasal 26 telah memberi batasan tentang apa yang dimaksud  dengan pendidikan non formal tersebut satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenis. 
Di Indonesia, jauh sebelum adanya pendidikan Islam formal di pesantren, sekolah, madrasah, dan pendidikan tinggi, telah berlangsung di pendidikan non formal. Para mubaligh yang telah berdatangan dari berbagai Negara ke Indonesia melaksanakan pendidikanIslam secara non formal.   
Selain dari kegiatan pendidikan formal, dikalangan masyarakat terdapat pula pendidikan agama non formal. Pendidikan agama non formal ini di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan majelis taklim. 
Kegiatan majelis taklim ini adalah bergerak dalam bidang dakwah Islam, lazimnya disampaikan dalam bentuk ceramah, Tanya jawab oleh seorang ustadz atau kiai dihadapan para jamahnya. Kegiatan ini telah di tentukan  jadwal dan waktunya.  
Selain dari majelis taklim di kalangan remaja muncul pula lembaga pendidikan non formal dalam bentuk pesantren kilat. Kegiatan berlangsung satu atau dua minggu, yang lebih tepat dikelompokkan kepada pelatihan. Dalam UU No. 27 Tahun 2003 dijelaskan tentang pendidikan non formal, Pasal 26: satuan pendidikan non formal terdiri dari atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompk belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis.  
Dengan demikian, pendidikan Islam non formal itu bisa dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan ayat Al-qur’an, bisa dalam bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompk belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang terbanyak bersebar di masyarakat dalam bentuk majelis taklim.    
4. Pelaksanaan Pendidikan Islam Non Formal 
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, yang mengandung materi yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara materi dan kurikilum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidik dalam suatu sistem institusional pendidikan. 
Materi-materi yang diuraikan dalam Al-qur’an menjadi bahanbahan pokok pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan Islam, formal maupun non formal. Oleh karena itu, materi pendidikan Islam yang bersumber dari Al-qur’an harus di pahami, dihayati, diyakini, dan diamalkan dalam kehidupan umat Islam. Menurut sifatnya, kurikulum pendidikan Islam dipandang sebagai cermin idealitas Islam yang tersusun dalam bentuk serangkaian program dan konsep dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan memperhatikan program yang berbentuk kurikulum, kita akan mengetahui cita – cita apakah yang hendak diwujudkan oleh kependidikan Islam itu 
Pengertian kurikulum secara singkat dapat diartikan sebagai benktuk kegiatan yang harus dilakukan bersama oleh guru dan peserta didik, yang mengandung makna pedagogis baik dalam institusi formal maupun non formal.  Dengan demikian, kurikulum pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar-mengajar secara terencana, sistematis, dan mencerminkan cita – cita para pendidik sebagai pembawa norma 
Islami. 
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efissien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Dalam proses pendidikan Islam baik di lembaga formal Maupin non formal, metode memiliki kedudukan yang sangat penting dalam rangka untuk mencapai tujuan. Karena metode merupakan salah satu komponen dari proses 
pendidikan. 
Sebagai salah satu komponen operasional pendidikan Islam, maka metode harus mengandung potensi mengarahkan atau yang bersifat mengarahkan materi pelajaran kepada tujuan pendidikan yang hendak dicapai malalui proses tahap demi tahap, dengan demikian menurut ilmu pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah apabila memiliki watak dan relevansi yang senada atau sejiwa dengan tujuan pendidikan Islam itu.   
Adapun yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam adalah sebagai metode pengajaran yang disesuaikan dengan materi atau bahan pelajaran yang terdapat dalam Islam itu sendiri. Karena muatan ajaran itu luas, maka metode terbiyah Islamiyah pun luas cakupannya.  
Bertolak dari dasar pandangan tersebut di atas, Al-qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, yakni dalam menyampaikan materi pendidikan. Metode tersebut 
antara lain yaitu : 
a. Metode Kisah-kisah  
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh persaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk mrnyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruh yang besar terhadap persaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan. Ia menggunakan berbagai jenis cerita, cerita sejarah secara factual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang ditampilkan oleh contoh tersebut, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan di saat apapun. 
b. Metode Teladan  
Dalam Al-qur’an metode ini dianggap penting karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (bebavioral). Untuk mempertegas keteladanan Rasulullah SAW itu, Al-qur’an lebih lanjut menjelaskan akhlak Nabi Muhammad yang disajikan secara tersebar dalam berbagai ayat di dalam al-qur’an.  
c. Metode Ceramah ( Khutbah ) 
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain 
mengikuti ajaran yang telah ditentukan. 
Metode ceramah ini dekat dengan kata tabligh yaitu menyampaikan seuatu ajaran. Daya tarik ceramah, atau tabligh bisa berbeda-beda, tergantung kepada siapa pembicaranya, bagaimana pribadi si pembicara itu dan bagaimana bobot pembicaraannya itu, dan apa prestasi yang telah dihasilkan. 
 
 
 
 
d. Metode Diskusi  
Metode diskusi juga diperhatikan oleh al-qur’an dalam mendidik dan mengajarkan manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah.   
Adapun metode yang diterapkan dalam pendidikan adalah bermacam-macam sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan, begitu juga dengan pendidikan Islam non formal. Dari berbagai macam metode itulah akan diperoleh yang lebih sesuai kondisi yang ada. 
Dalam proses pendidikan, diperlukan juga perhitungan tentang kondisi dan situasi dimana proses tersebut berlangsung dalam jangka panjang. Itulah sebabnya pendidikan Islam memerlukan strategi yang mantap dalam melaksanakan proses pendidikan dengan melihat situasi dan kondisi yang ada. Juga bagaimana agar dalam proses tersebut tidak ditemui hambatan serta gangguan baik internal maupun eksternal yang menyangkut kelembagaan atau lingkungan sekitarnya.   
 
 
Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia memiliki dasar yang cukup kuat, diantaranya dasar yuridis/hukum, religious, social psychologist. Ketiga dasar ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 
a. Dasar yuridis/hokum 
Pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara langsung ataupun tidak, dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan Islam di lembaga-lembaga baik secara formal ataupun non formal. Adapun dasar yuridis pelaksanaan 
pendidikan tersebut adalah: 
Dasar ideal yakni falsafah Negara yaitu pancasila, dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan untuk 
merealisasikan hal tersebut maka diperlukan pendidikan agama, karena tanpa pelaksanaan pendidikan tersebut, ketakwaan kepada Tuhan sulit untuk terwujud. 
Disamping itu, dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia adalah UU 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi : Negara berdasrkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.  
b. Dasar Religius  
Yang di maksud dasar religious disini adalah dasardasar yang bersumber pada Al-qu’an dan Al-hadits tentang perintah pelaksanaan yang merupakan perintah dari Allah dan merupakan ibadah dengannya. Di antaranya tertera dalam surat 
Al-Nahl: 125 yaitu : 
 
 Ο ßγø9Ï ‰≈y_uρ ( ÏπuΖ|¡pt ø:$# Ïπ sàãÏ ö θϑy ø9$#uρ Ïπyϑ õ3 tÏ:ø$$ Î / y7În/u‘ È≅‹ 6Ιy ’4n< Î) äíŠ÷ #$  uθ èδρu ( ⎯&Ï #Î ‹Î6 ™y ⎯ãt ¨≅Ê| ⎯ϑy Î/ ÞΟ=n ãô r& θu δè 7y −/‘u β¨ )Î 4 ß⎯|¡ômr& ‘} δÏ © ÉL9© $$Î /
     ∩⊇⊄∈∪ t⎦⎪ωtGôγ ß ϑø 9$$ Î/ ÞΟn=ôãr&
 
Artinya: 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”  
Dari ayat di atas memberi pengertian, bahwa dalam ajaran Islam ada perintah untuk mendidik, baik dalam keluarga,maupun pada orang lain dan tanggung jawab pendidik itu bukan saja terletak pada orang tua, namun masyarakat dan pemerintah ikut berperan dalam proses pendidikan.  
c. Dasar Social Psychologis  
Semua manusia di dalam hidupnya selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama, yakni adanya perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan mohon pertolongan. Oleh karenanya manusia berusaha mendekatkan diri pada Tuhannya dalam rangka mengabdi pada-Nya. Dalam hal ini ummat muslim membutuhkan pendidikan agama Islam agar dapat mengarahkan fitrahnya kepada jalan yang benar.   
Dengan demikian pelaksanaan pendidikan Islam non formal sangat penting atau berperan dalam mencapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri, agar membentuk Insan kamilah dengan akhlaqul karimah 
 
 
e. Metode Nasihat  
Menurut Al-qur’an metode nasihat itu hanya diberikan kepeda mereka yang melanggar peraturan. Dengan demikian nampaknya metode nasihat lebih ditujukan kepada murid-murid atau siswa-siswa yang kelihatan melanggar peraturan.  
Dengan demikian nasehat bisa saja digunakan untuk tujuantujuan yang kurang baik. Namun ini jarang terjadi. Yang banyak dilakukan, adalah bahwa nasihat itu sasarannya adalah timbulnya kesadaran padaorang yang dinasehati agar mau insaf melaksanakan ketentuan hukum atau ajaran yang dibebankan kepadanya.  
Dari uraian di atas, terlihat bahwa al-qur’an secara eksplisit menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. 
5. Keberadaan pendidikan Islam Non Formal di tengah Masyarakat  Jalur pendidikan luar sekolah untuk pendidika agama Islam atau pendidikan agama Islam pada masyarakat kelihatan sangat beragam.  
 Adapun Jenis-jenis pendidikan Islam non formal dapat di kutip dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 dijelaskan tentang pendidikan non formal, pasar 26: satuan non formal terdiri dari atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat dan masjid taklim serta satuan pendidikan sejanis.  Adapun wujud konkrit dari pendidikan Islam non formal 
yang ada di Masyarakat yaitu : 
a. Pengajian umum di masjid atau musholla-musholla dengan 
memberikan tausyiah-    tausyiah. 
b. Jam’iyah tahlil untuk bapak-bapak 
c. Kesenian Islami seperti kosidah dan dan rudat untuk laki-laki dan perempuan  
d. Rotibul hadad dan kegiatan Remas untuk remaja baik laki-laki ataupun perempuan. 
e. Taman pendidikan Al-qur’an (TPA) untuk anak-anak. 
f. Majlis taklim 
  Sebagaimana yang tertera di atas, sebagai dasar landasannya adalah GBHN tahun 1998 bahwa pendidikan agama wajib 
dilaksanakan pada setiap jenjang dan jalur pendidikan.  
 Pendidikan Agama pada masyarakat dilakukan oleh para mubaligh, da’i, dan tokoh agama di dalam masyarakat. Sedangkan institusi organisasinya seperti lembaga dakwah, majlis taklim, jamaah masjid, dan lain-lain.  
Pada penyelenggaraan pendidikan agama pada masyarakat 
atau pendidikan agama Islam jalur luar sekolah tidak terikat oleh jam pelajaran sekolah, dan tidak ada penjenjangan  sehingga dapat dilaksanakan kapan saja dan dimana saja, dan tergantung kepada kesempatan yang dimiliki oleh para anggota masyarakat dan penyerenggara pendidikan agama Islam pada masyarakat itu sendiri.   Dengan demikian eksistensi minoritas muslim dilihat dari segi kuwantitas baik secara fisik atau non fisik yaitu: dari jumlah pemeluk agama Islam, sarana dan prasarana seperti bangunan masjid atau musolla bertambah banyak dari tahun ke tahun. Dan dilihat dari segi kuwalitas baik dari segi fisik ataupun non fisik pendidikannya berkembang dari jenjang MI, MTs, MA dan bangunan masjid atau musollanya bertambah baik atau bagus, yang dulunya semi permanen menjadi permanen. 
C. Pengaruh Nahdlatul Ulama’ Terhadap Eksitensi Pendidikan Islam Non Formal 
Nahdlatul Ulama mempunyai peranan aktif dan radikal pada masa perjuangan, yang mungkin sulit dicocokan dengan reportasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang moderat dan kompromistis. Sepanjang dasawarsa akhir pemerintahan Belanda, Nahdlatul Ulama selalu memberikan kesetiaanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini sejalan dengan sikap Sunni tradisional bahwa pemerintahan yang membolehkan umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih baik dari pada fitnah (chaos) yang diakibatkan pemberontak. Setelah perang Belanda masih percaya bahwa mereka dapat memulihkan keadaan sebagaimana sebelum perang dan mengaharapkan para kiai (dan juga para tokoh Muhammadiyah) agar bersikap akomodatif sebagaimana sebelumnya. Dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan revolusioner Nahdlatul Ulama menyatakan perjuangan tersebut sebagai jihad (perang suci). deklarasi ini kemudian dikenal sebagai “Resolusi Jihad” yang telah mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tidak disangka-sangka. Revolusi ini nampaknya merupakan pengakuan yang legitimasi bagi pemerintah sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya, dengan mengeluarkan “Resolusi Jihad”, dengan kritik implisitnya terhadap pemerintah Republik, Nahdlatul Ulama telah menampilkan dirinya sebagai kelompok radikal. Nahdlatul Ulama membuka lembaran sejarah baru  dalam mengatasi kelemahan-kelemahan masalah sosial kemasyarakat. Pada giliranya, Nahdlatul Ulama mampu menemukan dan menerapkan jati dirinya sebagai organisasi sosiorelegius yang didirikan ulama-ulama pesantren Dari dimensi sosial keberadaan Nahdlatul Ulama merupakan upaya peneguhan kembali semua tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga 
pesantren, kiai, santri, dan jamaah yang tersebar di tanah air sebagai unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan Nahdlatul Ulama tidak terlalu sulit dalam menyebarkan sayap organisasinya. Hubungan kekerabatan kiai sendiri dalam lingkungan pesantren di Jawa sangat membantu penyebaran sampai ke daerah-daerah. Sifat penyatuan lingkungan itu akan menimbulkan interaksi sosial antara pesantren dengan penduduk setempat serta membentuk pola kepemimpinan sosial yang berpusat pada para Kyai. Perubahan sosial indonesia dapat terlaksana lebih baik. Bukan karena Nahdlatul Ulama (NU) memiliki basis terbesar masyarakat pedesaan dan hadirnya perubahan sosial masyarakat kota yang memiliki kecenderungan eksploitatif terhadap masyarakat pedeaan. Tapi, karena Nahdltul Ulama memliki organ otoritas interpretasi sosial, yakni para Kyai. Di tangan perubahan sosial dimonitoring, sekaligus dicarikan akar argumentasi idiologis dari sebuah perubahan sosial.  Penyelenggaraan pendidikan agama pada masyarakat dilakukan oleh para mubaligh, da’i, penyuluh, kyai dan tokoh agama di dalam masyarakat. Sedangkan institusi organisasinya seperti lembaga dakwah, majlis taklim, jamaah masjid, dan lain-lain. Perjalanan Nahdlatul Ulama yang awalnya banyak bernafaskan politik Praktis, kemudian berganti haluan dengan menitik beratkan pada aktifitas sosial keagamaan. Semangat paling awal itu adalah semangat melakukan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan dalam upaya mengangkat  harkat dan martabat umat Islam, khususnya warga islam sendiri yang pada waktu itu berdirinya dikenal masih berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Seperti tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun yang lalu, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan banyak diperankan para ulama ditengah-tengah masyarakat. Mereka menghabiskan waktunya untuk membimbing umat agar menjadi manusia yang selamat dunia dan akhirat. Mereka juga yang menjadi panutan masyarakat karena memilki kedudukan paling menentukan didalam organisasi yang didirikanya ini sebagaimana terealisasi pada masa-masa awal, baik secara legal formal maupun dalam prakteknya. Organisasi kemasyarakatan telah berkembang, berakar serta terasa secara intensif, baik emosional maupun rasional, peran keterlibatannya di masyarakat secara nyata. karena organisasi kemasyarakatan itu benar-benar hadir dalam masyarakat, mereka menjadi sekaligus kompensasi terhadap zaman yang segala sesuatunya cenderung “demokratis” nilai dan orientasinya praktis dan pragmatis. Dengan demikian, sesungguhnya organisasi kemasyarakatan itu ikut menjadi tulang punggung ketahanan masyarakat dan tumpuan ketahanan nasional. Ada otoaktivitas, otodinamika, otokebersamaan, dan otoorganisme. Dari segi ini tampaknya tiga pilar utama yang menyangga kekuatan Nahdlatul Ulama yaitu Ulama, pesantren, dan politisi memegang peran penting atas kebarhasilan Nahdlatul Ulama dalam pemilu tersebut. Dengan pola pendekatan dalam memperjuangkan berlakunya syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Nahdlatul Ulama hampir tak pernah menarik garis yang ekstrim hitam-putih dalam bidang ideologi, sebab pendekatan yang digunakan lebih bersifat praktis, parsial, dan gradual, setahap demi setahap sesuai dengan rentangan pemahaman keagamaan masyarakat yang masih  beragam. Apa yang dirumuskan di pusat mengenai program dan aksi politik setelah sampai dilapangan akan mengalami perubahan keadaan hal ini berarti bahwa rumusan-rumusan program dan aksi politik tersebut diartikan menurut bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti masyarakat awam.  
Pondok pesantren dan masyarakat Islam pedesaan menjadi pilar yang tetap kokoh sehingga tidak salah jika ada yang menyebut Nahdlatul Ulama merupakan organisasi pesantren dan masyrakat perdesaan. Hampir semua tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama memiliki pesantren dan mushola walaupun itu kecil, pondok pesantren merupakan wahana yang tepat dan strategis, sehingga memudahkan para santri untu menguasai kitab kuning yang ditulis oleh para imam madzhab terutama Imam Syafi’i. keterkaitan Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren dibuktikan dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia. Ciri-ciri umum elemen dasar pondok pesantren adalah ; a) Pondok, yaitu tempat tinggl para santri, b) Masjid, yaitu bangunan yang dipakai untuk mendidik para santri terutama dalam praktek sholat berjama’ah lima waktu, khutbah, dan pengajaran kitab kuning(klasik), c) Santri, yaitu anak didik yang belajar di pondok pesantren, yang terdiri santri mukim atau kalong, d) Kiai, adalah sentral figure juga berperan sebagi pengajar kitab klasik, dan biasanya juga pemilik pondok pesantren, e) Kitab Kuning (kitab Islam klasik) yang dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu Nahwu dan Sharaf, Fiqih, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf, dan Etika (Aqidah Akhlaq) yang terakhir adalah ilmu-ilmu lain seperti Tarikh dan Balaghah. Dalam Anggaran dasar Nahdlatul Ulama’ Pasal 5 tujuan dan usaha adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah waljama’ah dan menganut salah satu dari mazdhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.untuk mewujudkan tujuan sebagaimana pasal 5 di atas maka Nahdlatul Ulama’ melaksanakan usaha-usaha yang terdapat dalam pasal 6 yaitu: 
a. Dibidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran islam menurut faham ahlusunah wal jamaah dalam masyarakat dengan melaksanakan dawah islam dan amar ma’ruf nahi munkar  
b. Dibidang pendidikan,pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, Bangsa dan Negara. 
c. Dibidang sosial,mengusahakan terwujudnya kesejahtraan .  
d. Dibidang ekonomi,mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan . 
e. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi 
masyarakat banyak. 
 Sehingga Dalam bidang pendidikan Nahdlatul Ulama merupakan manifestasi modern dari kehidupan keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri  dalam membentuk masyarakat, kekompakan itu merupakan lembaga yang mempunyai peran kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam pada kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang bergerak dalam bidang  pendidikan. Dari segi ketenagaan relatif memadai karena banyak sekali tenaga pendidik agama Islam pada masyarakat, diantaranya ialah para penyuluh agama Islam, da’i, ustadz, mubaligh, guru-guru pada pengajian dan majlis taklim dan pemimpin umat seperti para kiyai dan ulama. Hanya saja terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan materi yang dibuat secara sendiri-sendiri pula. Ada baiknya mulai dipikirkan untuk mensinergikan para kiyai dan ulama dengan pembagian tugas mengajar dan berdakwah sesuai bidang keahliannya masing-masing yang saling menunjang 
sehingga hasilnya akan lebih optimal. 
Jalur pendidikan luar sekolah untuk pendidikan agama Islam atau pendidikan agama Islam pada masyarakat kelihatan sangat beragam. Diantaranya ialah pendidikan dalam keluarga, pendidikan untuk anak usia dini dan remaja, pengajian-pengajian yang dilaksanakan di masjid-masjid maupun musholla, majlis taklim, pembinaan rohani Islam pada instansi pemerintah maupun swasta, kursus-kursus yang diselenggarakan setingkat sekolah dasar  sampai tingkat keperguruan. Adapun sebagai landasannya adalah GBHN tahun 1998 bahwa pendidikan agama wajib dilaksanakan pada setiap jenjang dan jalur pendidikan. Berdasarkan penalaran penulis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama’ memiliki pengaruh terhadap pendidikan Islam non formal yang berorientasikan masyarakat khususnya umat muslim dalam mempertahankan ke 
eksistensiennya di tengah-tengah masyarakat modren,dan jelas masyarakat nuslim  memiliki hubungan yang signifikan untuk mempertahankan ke eksistensiannya dari Nahdlatul Ulama’.